12 Maret 2013

Menentukan Antara Boleh Dan Tidak Bagi Manusia

Share it Please
Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Bolehkah seseorang memfungsikan dirinya sebagai penentu terhadap orang lain dalam setiap persoalan, dan kapan seseorang dibolehkan secara syar'i untuk mengatakan, 'ini buruk' dan 'ini baik'?

Jawaban.
Tidak boleh seseorang memfungsikan dirinya sebagai penentu terhadap orang lain dengan melupakan dirinya sendiri bahkan seharusnya seseorang memperhatikan aib dirinya terlebih dahulu sebelum memperhatikan aib orang lain, tapi jika seorang muslim memfungsikan dirinya sebagai pemberi nasehat bagi saudara-saudaranya, yaitu menyuruh berbuat baik dan mencegah kemungkaran, maka ini baik, dan tidak dikategorikan sebagai memfungsikan dirinya sebagai penentu bagi orang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu." [Al-Hujurat: 10]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah bersabda.

"Artinya : Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya adalah laksana satu bangunan yang saling menguatkan."[1]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." [Al-Ma'idah: 2]

Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda.

“Artinya : Agama adalah nasehat?" Kami tanyakan, "Bagi siapa?" Beliau menjawab, 'Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin lainnya'."[2]

Serta sabdanya.

"Artinya : Tidak beriman (dengan sempurna) seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai (kebaikan) bagi saudaranya sebagaimana ia mencintai (itu) bagi dirinya sendiri."[3]

Maka hendaknya seorang manusia terlebih dahulu memperbaiki dirinya kemudian berusaha memperbaiki orang lain, hal ini termasuk kategori mencintai kebaikan bagi mereka dan loyal (nasehat) terhadap mereka, bukan kategori merendahkan orang lain atau mencari-cari aib mereka, karena yang demikian ini dilarang oleh Islam, sebab yang dianjurkan adalah mencintai kebaikan bagi mereka.

Adapun ucapan seseorang, "ini buruk dan ini tidak, seorang muslim tidak dituntut secara syar'i untuk mengucapkan demikian kepada saudaranya sesama muslim, kecuali jika benar-benar diketahui penyimpangannya atau maksud-maksud buruknya. Bagi yang mengetahui perihalnya, harus mengatakan apa yang dike-tahuinya, yaitu tentang keburukannya dan penyimpangannya, jika hal ini dipandang akan melahirkan kemaslahatan bagi agama-nya, yaitu dengan memperingatkan orang-orang terhadap orang tersebut agar mereka bisa membentengi diri dari bahayanya. Tapi jika itu diucapkan hanya untuk menjatuhkannya atau mencelanya, maka ini tidak boleh, karena ini merupakan penghinaan secara pribadi yang tidak mengandung masalahat.

Tidak diragukan lagi, bahwa memberi ketetapan bagi manusia memerlukan ketelitian dan kajian, karena seseorang tidak boleh berpedoman pada dugaannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain." [Al-Hujurat: 12]

Lain dari itu, dalam hal ini, seseorang tidak boleh berpedoman pada berita dari orang yang fasik, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." [Al-Hujurat: 6]

Karena itu, hendaknya seseorang menjauhi buruk sangka dan tidak menetapkan/mencap hanya berdasarkan dugaan. Hendaknya ia tidak menerima berita-berita begitu saja tanpa mengeceknya dan memastikannya, dan hendaknya tidak mencap orang lain kecuali berdasarkan ilmu syari'i, Jika ia memiliki ilmu syari'i, maka ia bisa menetapkan berdasarkan ilmu yang dimilikinya, tapi jika tidak mengerti hukum-hukum syari'at, maka tidak boleh menilai sikap-sikap orang lain.

Hendaknya pula tidak melibatkan diri dalam ruang lingkup ini jika tidak memiliki ilmunya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." [Al-Isra': 36]

Dalam ayat lain disebutkan.

"Artinya : Katakanlah, Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui'." [Al-A'raf: 33]

Orang yang tidak memiliki ilmu hendaknya tidak memberi ketetapan hanya berdasarkan dugaan atau berdasarkan pendapatnya atau berdasarkan apa yang terbetik di dalam benaknya, akan tetapi hendaknya ia diam karena perkara ini sangat berbahaya. Barangsiapa menuduh seorang mukmin dengan tuduhan yang tidak ada padanya, atau mencapnya dengan sesuatu yang tidak sesuai, maka tuduhan itu akan kembali dan menimpa padanya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits.

"Artinya : Sesungguhnya, barangsiapa yang melaknat sesuatu yang tidak ada padanya, maka laknat itu akan kembali kepadanya (menimpa-nya)."[4]

Lain dari itu, seorang muslim tidak boleh mengatakan kepada saudaranya, 'Hai orang fasik' atau 'hai orang kafir' atau 'hai orang jelek' atau ucapan-ucapan atau gelar-gelar serupa lainnya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman." [Al-Hujurat : 11]

Jadi, seorang muslim harus hati-hati dalam masalah ini, dan hendaknya memiliki ilmu dan hujjah yang nyata sehingga bisa menetapkan terhadap dirinya terlebih dahulu, baru kemudian terhadap orang lain, di samping itu, hendaknya pula ia memiliki kejelian dan kemantapan serta wawasan luas dan tidak tergesa-gesa.

[Kitabud Da'wah, 7, Syaikh Al-Fauzan (2/168-170).]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Mazhalim (2446), Muslim dalam Al-Birr wash Shilah (2585).
[2]. HR. Muslim dalam Al-Iman (55).
[3]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Iman (13), Muslim dalam Al-Iman(45).
[4]. HR. Abu Dawud dalam Al-Adab(4908), At-Tirmidzi dalam Al-Birr(1978) dari hadits Ibnu Abbas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar