14 Juni 2013

Syaikh Al Albani Berbicara Tentang Wahabi

Seseorang bertanya: "kami sering mendengar tentang wahabiyah/wahabi dan kami mendengar pula bahwa para pengikut wahabiyah membenci shalawat atas Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa ‘alihi wasallam dan tidak mau menziarahi makan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam. Lalu sebagian syaikh mengatakan sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam telah mengabarkan keadaan mereka ini saat beliau bersabda, "najed adalah tanduk Syaitan." Bagaimanakah jawaban anda mengenai hal ini ?

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -rahimahullah- menjawab:

Pada hakikatnya pertanyaan ini, sangat disayangkan, sangat mengakar dan mempengaruhi kaum muslimin. Adapun iklim yang telah menunjang tumbuhnya opini seperti ini dahulu adalah faktor politik, namun masa bagi faktor tersebut telah lama berlalu dan berakhir. Sebab, ia hanyalah manufer politik yang sengaja dilancarkan oleh daulah Attaturk (kerajaan Turki) tanpa landasan sama sekali, tapi sekedar mengalihkan perhatian.

Politik tersebut diciptakan oleh daulah attaturk pada saat munculnya seorang ahli ilmu dan tokoh pembaharu yang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-, yang berasal dari bagian negeri Najed. Tokoh tersebut mengajak orang-orang disekitarnya kepada keikhlasan, beribadah kepada Allah semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Di antara fenomena kesyirikan itu, sangat disayangkan, masih saja ditemukan di sebagian negeri Islam, berbeda dengan negeri tempat munculnya sang pembaharu Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-. Negeri tersebut hingga saat ini, Alhamdulillah, tidak ditemukan padanya salah satu jenis syirik. Sementara fenomena syirik demikian marak di sebagian besar negeri Islam yang lain, Sebagai contoh, figur Khomaini dan saat meninggalnya serta pengumuman penunjukan makan beliau sebagai Ka'bah (tempat menunaikan haji) bagi penduduk Iran, ini merupakan bukti nyata dan berita tentang hal ini masih hangat bagi kalian.

Sang tokoh, Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-, ketika naik ke permukaan dalam rangka berdakwah untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala, sangat bertepatan dengan hikmah yang dikehendaki Allah Subhanahu Wata'ala. Pada saat itu, di negeri tersebut terdapat seorang pemimpin di antara sekian pemimpin negeri Najed, beliau adalah Su'ud leluhur keluarga yang saat ini sedang memerintah Saudi. Akhirnya syaikh (Muhammad bin abdul wahhab -rahimahullah-) dan pemimpin tersebut bekerja sama, ilmu dan pedang pun saling membantu. Mereka mulai menyebarkan dakwah tauhid di negeri Najed, mengajak manusia sekali waktu dengan lisan dan di waktu yang lain dengan pedang. Siap yang menyambut ajakan, maka itulah yang diharapkan. Sedang bila tidak demikian, maka tidak ada jalan lain kecuali menggunakan kekuatan.

Dakwah tersebut berhasil menyebar hingga sampai ke negeri-negeri yang lain. Sementara perlu diketahui bahwa saat itu negeri Najed serta wilayah sekitarnya seperti Irak, Yordan, dan wilayah-wilayah lain berada di bawah kekuasaan Attaturk sebagai khilafah turun-temurun. Kemudian tokoh ini dengan ilmunya serta pemimpin tersebut dengan kepemimpinannya mulai populer. Dari sini, penguasa Attaturk merasa khawatir jika muncul di dunia Islam satu kekuatan yang mampu menyaingi kekuasaan Daulah Attaturk. Maka, mereka berkehendak membabat habis dakwah ini sebelum sempat beranjak dari negeri kelahirannya. Hal itu mereka tempuh dengan cara menggencarkan propaganda bohong mengenai dakwah tersebut, sebagaimana terungkap dalam pertanyaan di atas ataupun pernyataan serupa yang sering kita dengar.

Di atas telah aku katakan, bahwa faktor utamanya adalah konflik politik, akan tetapi konflik politik tersebut telah berakhir dan bukan tujuan kami hendak membahas sejarah. Adapun faktor lain yang turut andil bagi tersebarnya opini tidak benar terhadap dakwah ini adalah ketidaktahuan sebagian orang terhadap hakikat dakwah ini. Hal ini mengingatkan ku akan suatu cerita yang pernah aku baca di sebuah majalah, yaitu bahwa dua orang laki-laki sedang bertukar pikiran mengenai jalan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- yang mereka cap dengan sebutan Wahabiyah. Kalau saja manusia mau memikirkan apa yang akan mereka katakan, niscaya pemberian cap ini saja sudah cukup membuktikan kesalahan mereka dalam menyikapi dakwah ini. Sebab kata Wahabiyah bila ditelusuri merupakan pecahan dari kata dasar Wahab. Lalu siapakah Al-Wahab itu ? tidak lain adalah Allah Tabaraka Wata'ala.

Kalau begitu, pemberian cap bagi dakwah ini dengan sebutan Wahabiyah justru menjadikannya mulia dan bukan malah meruntuhkannya. Akan tetapi sebutan itu sama seperti apa yang mereka katakan tentang kami di Suriah, "Di telinga mereka, hal itu adalah sesuatu yang menakutkan sekali". Begitu juga perkataan "Wahabiyah tidak memiliki keyakinan terhadap Rosul, atau mereka tidak beriman kepada Allah Ta'ala.”

Pembahasan ini telah mengingatkanku akan dua orang yang bertukar pikiran tersebut. Seorang yang bodoh mengklaim bahwa golongan Wahabiyah hanya beriman kepada Allah Subhanahu Wata'ala, adapun Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam tidak menjadi bagian keyakinan mereka. Tidak ada yang mereka ucapkan kecuali "Laa Ilaha Illallaah (Tidak ada sembahan yang hak kecuali Allah).

Sehubungan dengan ini di Negeri Syam, ada cerita yang mesti aku sampaikan. Mereka biasa mengatakan "Mobil duta besar Saudi lewat dan ternyata diiringi oleh bendera melambai-lambai bertuliskan Laa Ilaha Illallaah wa Muhammad Rosulullaah.”

Wahai kaum muslimin, bertakwalah kalian kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Bagaimana kalian mengatakan terhadap orang-orang itu bahwa mereka tidak beriman kecuali hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala, sementara bendera mereka merupakan satu-satunya bendera di dunia yang bertuliskan simbol Tauhid, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam telah bersabda tentang hal itu, "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rosulullaah. Apabila mereka mengatakan hal itu, sungguh telah terlindung dariku harta dan darah mereka. Adapun Hisab (perhitungan amalan) mereka terserah kepada Allah Subhanahu Wata'ala ".

Mengapa kalian melancarkan tuduhan dusta kepada mereka?! Lihatlah, bendera mereka ini menjulang tinggi untuk mengungkapkan keimanan yang ada di hati mereka.

Ini dari satu sisi, sementara dari sisi lain yang lebih besar dan lebih penting, "Mungkin saja dikatakan bahwa bendera tersebut hanyalah kepalsuan, yakni sekedar propaganda yang memiliki maksud tersendiri... dan seterusnya", Akan tetapi, tidaklah mereka perhatikan bagaimana hingga saat ini manusia melaksanakan haji setiap waktu dengan nyaman dan aman. Keadaan seperti ini tidak pernah dinikmati (setelah masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam dan beberapa Khalifah terdahulu, peny), pada masa Attaturk yang telah melancarkan tuduhan dusta untuk merusak citra dakwah ini. Kalian semua mengetahui bahwa seringkali terjadi pada bapak-bapak kita, terlebih kakek-kakek kita, bila hendak berangkat menunaikan haji harus menyertakan pasukan bersenjata demi untuk mengamankan jamaah haji tersebut dari para penyamun dan perampok.

Maha suci Allah, kondisi ini telah berakhir. Namun dengan sebab apa? Tentu saja dengan sebab politik yang diterapkan oleh jamaah yang mereka namakan golongan wahabiyah hingga saat ini.

Seandainya bendera yang melambaikan keimanan shahih dan tauhid yang benar disertai keimanan bahwa Muhammad adalah Rosulullah itu hanyalah pernyataan palsu dan kedustaan belaka, namun tidakkah kalian perhatikan bagaimana mereka demikian tekunnya di dalam Masjid untuk beribadah kepada Allah Ta'ala. Mereka mengumandangkan adzan sebagaimana adzan yang dikumandangkan di seluruh negeri Islam lainnya. Demi Allah, kecuali tambahan (penambahan azan, ed) yang biasa diucapkan (dilakukan, ed) pada bagian awal dan akhir adzan seperti yang terdapat di berbagai negeri Islam lain, sesungguhnya tambahan ini tidaklah ditemukan di sana (Saudi). Hal itu mereka lakukan dalam rangka menerapkan Sunnah, bukan sebagai fenomena pengingkaran terhadap Rosul Islam serta Rosul bagi manusia secara keseluruhan. Akan tetapi semata-mata hanyalah untuk mengikuti generasi salaf. Semua kebaikan adalah dengan mengikuti golongan salaf, sementara segala keburukan terdapat pada bid'ah dan kaum khalaf.

Hingga saat ini, manusia menunaikan ibadah haji dan mendengarkan adzan dengan kalimat persaksian akan keesaan Allah Subhanahu Wata'ala serta persaksian terhadap Nabi-Nya sebagai pengemban Risalah. Kemudian mereka sholat seperti sholat yang kita lakukan, dan bersholawat terhadap Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam- setiap kali namanya disebut. Barangkali mereka lebih banyak bersholawat dibandingkan orang-orang yang menuduh bahwa mereka tidak mencintai dan tidak mau bersholawat atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam.

Wahai jamaah sekalian, takutlah kalian kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Kedustaan yang digemborkan ini telah dibantah oleh kenyataan kondisi mereka. Sebab tidak mungkin bagi mereka memperturuti keinginan orang-orang yang berada di negeri mereka. Akan tetapi yang mereka tampilkan tidak lain lahir dari lubuk hati, keimanan terhadap kalimat "Laa ilaha Illallaah wa anna Muhammad Rosulullaah" serta semangat untuk mengikuti manhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam tanpa menambah-nambah, tidak tidak (bukan, ed) aku katakan tidak mengurangi. Sebab kekurangan adalah tabiat manusia, tidak ada manusia yang mampu untuk menghindar darinya. Akan tetapi dari segi Akidah tidak dilebihkan dan tidak dikurangi dari yang semestinya. Sedangkan dari segi ibadah tidak dilebihkan namun bisa saja kurang dari yang semestinya. Misalnya sebagian mereka tidak melakukan sholat di waktu malam di saat manusia tertidur, dan ini adalah kekurangan. Namun kekurangan ini tidak mempengaruhi akidah serta tidak mengurangi nilai keislaman yang dimiliki. Kalimat Wahabiyah masih saja dijadikan bahan untuk melakukan tuduhan suatu kelompok masyarakat mengenai perkara-perkara yang mereka berlepas daripadanya sebagaimana dikatakan "terbebasnya serigala dari darah putra Ya'qub.”

Wallaahu a'lam bisshowab.

Sumber Kitab : Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani wa Muqaranatuha bi fatawa Al-'Ulama.
Baca Selengkapnya

3 Juni 2013

Adab Berbicara

Ajaran Islam amat sangat serius memperhatikan soal menjaga lisan sehingga Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa yang memberi jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada antara dua janggutnya (lisan) dan apa yang ada antara dua kakinya (kema-luannya) maka aku menjamin Surga untuknya." (HR. Al-Bukhari).

Menjaga Lisan

Seorang muslim wajib menjaga lisannya, tidak boleh berbicara batil, dusta, menggunjing, mengadu domba dan melontarkan ucapan-ucapan kotor, ringkasnya, dari apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Sebab kata-kata yang merupakan produk lisan memiliki dampak yang luar biasa.
Perang, pertikaian antarnegara atau perseorangan sering terjadi karena perkataan dan provokasi kata. Sebaliknya, ilmu pengetahuan lahir, tumbuh dan berkembang melalui kata-kata. Perdamaian bahkan persaudaraan bisa terjalin melalui kata-kata. Ironinya, banyak orang yang tidak menyadari dampak luar biasa dari kata-kata. 

Padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa keridhaan Allah, dan dia tidak menyadarinya, tetapi Allah mengangkat dengannya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa kemurkaan Allah, dan dia tidak mempedulikannya, tetapi ia menjerumuskan-nya ke Neraka Jahannam." (HR. Bukhari)

Hadis Hasan riwayat Imam Ahmad menyebutkan, bahwa semua anggota badan tunduk kepada lisan. Jika lisannya lurus maka anggota badan semuanya lurus, demikian pun sebaliknya. Ath-Thayyibi berkata, lisan adalah penerjemah hati dan penggantinya secara lahiriyah. Karena itu, hadits Imam Ahmad di atas tidak bertentangan dengan sabda Nabi yang lain: "Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan bila rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Berkata Baik Atau Diam


Adab Nabawi dalam berbicara adalah berhati-hati dan memikirkan terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa kata-kata itu baik, maka hendaknya ia mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-kata yang ingin diucapkannya jelek, maka hendaknya ia menahan diri dan lebih baik diam. 

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam." (HR. Al-Bukhari).

Adab Nabawi di atas tidak lepas dari prinsip kehidupan seorang muslim yang harus produktif menangguk pahala dan kebaikan sepanjang hidupnya. Menjadikan semua gerak diamnya sebagai ibadah dan sedekah. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: "… Dan kalimat yang baik adalah sedekah. Dan setiap langkah yang ia langkahkan untuk shalat (berjamaah di masjid)adalah sedekah, dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah." (HR. Al-Bukhari).

Sedikit Bicara Lebih Utama
Orang yang senang berbicara lama-lama akan sulit mengendalikan diri dari kesalahan. Kata-kata yang me-luncur bak air mengalir akan mengha-nyutkan apa saja yang diterjangnya, dengan tak terasa akan meluncurkan kata-kata yang baik dan yang buruk. Ka-rena itu Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang kita banyak bicara. Beliau Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda artinya,
"…Dan (Allah) membenci kalian untuk qiila wa qaala." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Imam Nawawi rahimahullah berkata, 'qiila wa qaala' adalah asyik membicarakan berbagai berita tentang seluk beluk seseorang (ngerumpi). Bahkan dalam hadits hasan gharib riwayat Tirmidzi disebutkan, orang yang banyak bicara diancam oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sebagai orang yang paling beliau murkai dan paling jauh tempatnya dari Rasulullah pada hari Kiamat. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu berkata, 'Tidak ada baiknya orang yang banyak bicara.' Umar bin Khathab Radhiallaahu anhu berkata, 'Barangsiapa yang banyak bicaranya, akan banyak kesalahannya.'

Dilarang Membicarakan Setiap Yang Didengar

Dunia kata di tengah umat manusia adalah dunia yang campur aduk. Seperti manusianya sendiri yang beragam dan campur aduk; shalih, fasik, munafik, musyrik dan kafir. Karena itu, kata-kata umat manusia tentu ada yang benar, yang dusta, ada yang baik dan ada yang buruk. Karena itu, ada kaidah dalam Islam soal kata-kata, 'Siapa yang membicarakan setiap apa yang didengarnya, berarti ia adalah pembicara yang dusta'. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam :
"Cukuplah seseorang itu berdosa, jika ia membicarakan setiap apa yang di-dengarnya."
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Cukuplah seseorang itu telah berdusta, jika ia membicarakan setiap apa yang didengarnya." (HR. Muslim).

Jangan Mengutuk dan Berbicara Kotor


Mengutuk dan sumpah serapah dalam kehidupan modern yang serba materialistis sekarang ini seperti menjadi hal yang dianggap biasa. Seorang yang sempurna akhlaknya adalah orang yang paling jauh dari kata-kata kotor, kutukan, sumpah serapah dan kata-kata keji lainnya. Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu meriwayatkan, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

"Seorang mukmin itu bukanlah seorang yang tha'an, pelaknat, (juga bukan) yang berkata keji dan kotor." (HR. Bukhari).
Tha'an adalah orang yang suka-merendahkan kehormatan manusia, dengan mencaci, menggunjing dan sebagainya.

Melaknat atau mengutuk adalah do’a agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah. Imam Nawawi rahimahullah berkata, 'Mendo’akan agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah bukanlah akhlak orang-orang beriman. Sebab Allah menyifati mereka dengan rahmat (kasih sayang) di antara mereka dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Mereka dijadikan Allah sebagai orang-orang yang seperti bangunan, satu sama lain saling menguatkan, juga diumpamakan sebagaimana satu tubuh. Seorang mukmin adalah orang yang mencintai saudara mukminnya yang lain sebagai-mana ia mencintai dirinya sendiri. Maka, jika ada orang yang mendo’akan saudara muslimnya dengan laknat (dijauhkan dari rahmat Allah), itu berarti pemutusan hubungan secara total. Padahal laknat adalah puncak doa seorang mukmin terhadap orang kafir. Karena itu disebutkan dalam hadits shahih:
"Melaknat seorang mukmin adalah sama dengan membunuhnya." (HR. Bukhari). Sebab seorang pembunuh memutus-kan orang yang dibunuhnya dari berbagai manfaat duniawi. Sedangkan orang yang melaknat memutuskan orang yang dilaknatnya dari rahmat Allah dan kenikmatan akhirat.

Jangan Senang Berdebat Meski Benar

Saat ini, di alam yang katanya demokrasi, perdebatan menjadi hal yang lumrah bahkan malah digalakkan. Ada debat calon presiden, debat calon gubernur dan seterusnya. Pada kasus-kasus tertentu, menjelaskan argumen-tasi untuk menerangkan kebenaran yang berdasarkan ilmu dan keyakinan memang diperlukan dan berguna.

Tetapi, berdebat yang didasari ketidak-tahuan, ramalan, masalah ghaib atau dalam hal yang tidak berguna seperti tentang jumlah Ashhabul Kahfi atau yang sejenisnya maka hal itu hanya membuang-buang waktu dan berpe-ngaruh pada retaknya persaudaraan. (Lihat Tafsir Sa'di, 5/24, surat Kahfi: 22)

Maka, jangan sampai seorang mukmin hobi berdebat. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Saya adalah penjamin di rumah yang ada di sekeliling Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meski dia benar. Dan di tengah-tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun dia bergurau. Juga di Surga yang tertinggi bagi orang yang baik akh-laknya." (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).

Dilarang Berdusta Untuk Membuat Orang Tertawa


Dunia hiburan (entertainment) menjadi dunia yang digandrungi oleh sebagian besar umat manusia.
Salah satu jenis hiburan yang digandrungi orang untuk menghilangkan stress dan beban hidup yang berat adalah lawak. Dengan suguhan lawak ini orang menjadi tertawa terbahak-bahak, padahal di dalamnya campur baur antara kebenaran dan kedustaan, seperti memaksa diri dengan mengarang cerita bohong agar orang tertawa. Mereka inilah yang mendapat ancaman melalui lisan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dengan sabda beliau:
"Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!" (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).

Merendahkan Suara Ketika Berbicara

Meninggikan suaranya, berteriak dan membentak. Dalam pergaulan sosial, tentu orang yang semacam ini sangat dibenci. Bila sebagai pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang ditakuti oleh bawahannya. Bukan karena kewibawaan dan keteladanannya, tapi karena suaranya yang menakutkan. Bila sebagai bawahan, maka dia adalah orang yang tak tahu diri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, 'Orang yang meninggikan suaranya terhadap orang lain, maka tentu semua orang yang berakal menge-tahui, bahwa orang tersebut bukanlah orang yang terhormat.' Ibnu Zaid berkata, 'Seandainya mengeraskan suara (dalam berbicara), adalah hal yang baik, tentu Allah tidak menjadikannya sebagai suara keledai.' Abdurrahman As-Sa'di berkata, 'Tidak diragukan lagi, bahwa (orang yang) meninggikan suara kepada orang lain adalah orang yang tidak beradab dan tidak menghormati orang lain.'

Karena itulah termasuk adab berbicara dalam Islam adalah merendahkan suara ketika berbicara. Allah berfirman, artinya: "Dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS. Luqman: 19).
 
==============================================================
Ainul Haris 
www.alsofwah.or.id
Baca Selengkapnya

Pertemanan Dalam Islam

Secara umum, orang merasa senang dengan banyak teman. Manusia memang tidak bisa hidup sendiri, sehingga disebut sebagai makhluk sosial. Tetapi itu bukan berarti, seseorang boleh semaunya bergaul dengan sembarang orang menurut selera nafsunya. Sebab, teman adalah personifikasi diri. Manusia selalu memilih teman yang mirip dengannya dalam hobi, kecenderungan, pandangan, pemikiran. Karena itu, Islam memberi batasan-batasan yang jelas dalam soal pertemanan.

Memilih Teman Yang Baik

Teman memiliki pengaruh yang besar sekali. Rasulullah bersabda,
"Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa temannya." (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Makna hadits di atas adalah seseorang akan berbicara dan ber-perilaku seperti kebiasaan kawannya. Karena itu beliau Shalallaahu alaihi wasalam mengingatkan agar kita cermat dalam memilih teman. Kita harus kenali kualitas beragama dan akhlak kawan kita. Bila ia seorang yang shalih, ia boleh kita temani. Sebaliknya, bila ia seorang yang buruk akhlaknya dan suka melanggar ajaran agama, kita harus menjauhinya.

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
"Jangan berteman, kecuali dengan orang mukmin, dan jangan memakan makan-anmu kecuali orang yang bertakwa." (HR. Ahmad dihasankan oleh al-Albani)
Termasuk dalam larangan di atas adalah berteman dengan pelaku dosa-dosa besar dan ahli maksiat, lebih-lebih berteman dengan orang-orang kafir dan munafik.

Khathabi berkata, “Yang dimaksud dengan jangan memakan makananmu, kecuali orang yang bertakwa adalah dengan cara mengundang mereka dalam suatu jamuan makan. Sebab jamuan makan bisa melahirkan rasa kasih sayang dan cinta di antara yang hadir”. Adapun makanan yang memang dibutuhkan oleh mereka, maka tidak apa-apa diberikan.

Allah berfirman, artinya, "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan." (QS. Al-Insan: 8). Dan yang ditawan bisa saja adalah orang-orang kafir.

Demikian juga dalam pergaulan yang sifatnya umum seperti bertetang-ga, jual beli dan sebagainya, maka hukumnya masuk dalam hukum mua-malah, di mana kita boleh bermuamalah dengan siapa saja, muslim maupun non muslim.

Cinta Karena Allah

Persahabatan yang paling agung adalah persahabatan yang dijalin di jalan Allah dan karena Allah, bukan untuk mendapatkan manfaat dunia, materi, jabatan atau sejenisnya. Persahabatan yang dijalin untuk saling mendapatkan keuntungan duniawi sifatnya sangat sementara. Bila keuntungan tersebut telah sirna, maka persahabatan pun putus.

Berbeda dengan persahabatan yang dijalin karena Allah, tidak ada tujuan apa pun dalam persahabatan mereka, selain untuk mendapatkan ridha Allah. Orang yang semacam inilah yang kelak pada Hari Kiamat akan mendapat janji Allah.

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
"Sesungguhnya Allah pada Hari Kiamat berseru, 'Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini akan Aku lindungi mereka dalam lindungan-Ku, pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali per-lindungan-Ku." (HR. Muslim)

Dari Mu'adz bin Jabalzia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, "Wajib untuk mendapatkan kecintaan-Ku orang-orang yang saling mencintai karena Aku dan yang saling berkunjung karena Aku dan yang saling berkorban karena Aku." (HR. Ahmad).

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , diceritakan, "Dahulu ada seorang laki-laki yang berkunjung kepada saudara (temannya) di desa lain. Lalu ditanyakan kepadanya, 'Ke mana anda hendak pergi? Saya akan mengunjungi teman saya di desa ini', jawabnya, 'Adakah suatu kenikmatan yang anda harap darinya?' 'Tidak ada, selain bahwa saya mencintainya karena Allah Azza wa Jalla', jawabnya. Maka orang yang bertanya ini mengaku, "Sesungguhnya saya ini adalah utusan Allah kepadamu (untuk menyampaikan) bahwasanya Allah telah mencintaimu sebagaimana engkau telah mencintai temanmu karena Dia."

Ungkapkan Cinta Karena Allah

Anas Radhiallaahu anhu meriwayatkan, "Ada seorang laki-laki di sisi Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Tiba-tiba ada sahabat lain yang berlalu. Laki-laki tersebut lalu berkata, “Ya Rasulullah, sungguh saya mencintai orang itu (karena Allah)”. Maka Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bertanya “Apakah engkau telah memberitahukan kepadanya?” “Belum”, jawab laki-laki itu. Nabi bersabda, “Maka bangkit dan beritahukanlah padanya, niscaya akan mengokohkan kasih sayang di antara kalian.” Lalu ia bangkit dan memberitahukan, “Sungguh saya mencintai anda karena Allah.” Maka orang ini berkata, “Semoga Allah mencintaimu, yang engkau mencintaiku karena-Nya." (HR. Ahmad, dihasankan oleh Al-Albani).

Hal yang harus diperhatikan oleh orang yang saling mencintai karena Allah adalah untuk terus melakukan evaluasi diri dari waktu ke waktu. Adakah sesuatu yang mengotori kecintaan tersebut dari berbagai kepentingan duniawi?

Lemah Lembut, Bermuka Manis dan Saling Memberi Hadiah

Paling tidak, saat bertemu dengan teman hendaknya kita selalu dalam keadaan wajah berseri-seri dan menyungging senyum. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
"Jangan sepelekan kebaikan sekecil apapun, meski hanya dengan menjumpai saudaramu dengan wajah berseri-seri." (HR. Muslim dan Tirmidzi).

Dalam sebuah hadis riwayat Aisyah Radhiallaahu anha disebutkan, bahwasanya "Allah mencintai kelemah-lembutan dalam segala sesuatu." (HR. al-Bukhari). Dalam hadis lain riwayat Muslim disebutkan “Bahwa Allah itu Maha Lemah-Lembut, senang kepada kelembut-an. Ia memberikan kepada kelembutan sesuatu yang tidak diberikan-Nya kepada kekerasan, juga tidak diberikan kepada selainnya."

Termasuk yang membantu langgengnya cinta dan kasih sayang adalah saling memberi hadiah di antara sesama teman. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
"Saling berjabat tanganlah kalian, niscaya akan hilang kedengkian. Saling memberi hadiah lah kalian, niscaya kalian saling mencintai dan hilang (dari kalian) kebencian." (HR. Imam Malik).

Saling Memberi Nasihat

Dalam Islam, prinsip menolong teman adalah bukan berdasar permintaan dan keinginan hawa nafsu teman. Tetapi prinsip menolong teman adalah keinginan untuk menunjukkan dan memberi kebaikan, menjelaskan kebenaran dan tidak menipu serta berbasa-basi dengan mereka dalam urusan agama Allah. Termasuk di dalamnya adalah amar ma'ruf nahi mungkar, meskipun bertentangan dengan keinginan teman.

Adapun mengikuti kemauan teman yang keliru dengan alasan solidaritas, atau berbasa-basi dengan mereka atas nama persahabatan, supaya mereka tidak lari dan meninggalkan kita, maka yang demikian ini bukanlah tuntunan Islam.

Berlapang Dada dan Berbaik Sangka

Salah satu sifat utama penebar kedamaian dan perekat ikatan persaudaraan adalah lapang dada. Orang yang berlapang dada adalah orang yang pandai memahami berbagai keadaan dan sikap orang lain, baik yang menyenangkan maupun yang menjengkelkan. Ia tidak membalas kejahatan dan kezhaliman dengan kejahatan dan kezhaliman yang sejenis, juga tidak iri dan dengki kepada orang lain. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
"Seorang mukmin itu tidak punya siasat untuk kejahatan dan selalu (berakhlak) mulia, sedang orang yang fajir (tukang maksiat) adalah orang yang bersiasat untuk kejahatan dan buruk akhlaknya." (HR. HR. Tirmidzi, Al-Albani berkata “hasan”)

Karena itu Nabi Shalallaahu alaihi wasalam mengajarkan agar kita berdo’a dengan:
"Dan lucutilah kedengkian dalam hati- ku." (HR. Abu Daud, Al-Albani berkata 'shahih')
Termasuk bumbu pergaulan dan persaudaraan adalah berbaik sangka kepada sesama teman, yaitu selalu berfikir positif dan memaknai setiap sikap dan ucapan orang lain dengan persepsi dan gambaran yang baik, tidak ditafsirkan negatif. Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
Jauhilah oleh kalian berburuk sangka, karena buruk sangka adalah pembicaraan yang paling dusta” (HR.Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud dengan berburuk sangka di sini adalah dugaan yang tanpa dasar.

Menjaga Rahasia

Setiap orang punya rahasia. Biasa-nya, rahasia itu disampaikan kepada teman terdekat atau yang dipercayainya. Anas Radhiallaahu anhu pernah diberi tahu tentang suatu rahasia oleh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Anas Radhiallaahu anhu berkata, "
Nabi Shalallaahu alaihi wasalam merahasiakan kepadaku suatu rahasia. Saya tidak menceritakan tentang rahasia itu kepada seorang pun setelah beliau (wafat). Ummu Sulaim pernah menanyakannya, tetapi aku tidak memberitahukannya." (HR. Al-Bukhari).

Teman dan saudara sejati adalah teman yang bisa menjaga rahasia temannya. Orang yang membeberkan rahasia temannya adalah seorang pengkhianat terhadap amanat. Berkhia-nat terhadap amanat adalah termasuk salah satu sifat orang munafik.

Penutup

Persahabatan yang dijalin karena kepentingan duniawi tidak mungkin bisa langgeng. Bila manfaat duniawi sudah tidak diperoleh biasanya mereka dengan sendirinya berpisah bahkan mungkin saling bermusuhan. Berbeda dengan persahabatan yang dijalin karena Allah, mereka akan menjadi saudara yang saling mengasihi dan saling membantu, dan persaudaraan itu tetap akan berlanjut hingga di negeri Akhirat. Allah berfirman, artinya,
"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa." (QS. Az-Zukhruf: 67)

Ya Allah, anugerahilah kami hati yang bisa mencintai teman-teman kami hanya karena mengharap keridhaan-Mu. Amin. 

=============================================
Ibnu Umar
www.alsofwah.or.id
Baca Selengkapnya

Bunuh Diri, Mengapa Terjadi?



Salah satu belas kasih Allah subhanahu wata’ala terhadap orang-orang shalih yakni Allah subhanahu wata’ala memberikan kepada mereka dua kebahagiaan; Kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan perlu kita ketahui bahwa rasa bosan hidup yang Allah berikan kepada orang yang banyak melakukan maksiat, atau mencari kebahagian bukan dengan cara yang Dia ridhai, akan menjadikan sempit kehidupan dunia mereka sehingga mereka merasa terus tertekan. Maka orang yang demikian ini meskipun berada dalam kehidupan yang glamour dan penuh gemerlap, namun senantiasa merasa tersiksa hidupnya. Mengapa demikian?

Mengapa mereka yang banyak menikmati musik, mengunjungi tempat-tempat "hiburan" (baca maksiat), meminum khamer, melihat yang haram dan lain sebagainya, hanya menikmati itu dalam sesaat lalu setelah itu berubah menjadi kesempitan, kegalauan dan kesedihan?

Jawabannya yakni karena Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia untuk satu tugas, yang tidak akan mungkin kehidupan menjadi lurus jika dia melupakan tugas itu dan sibuk dengan selainnya. Tugas itu tidak lain adalah beribadah, sebagaimana firman-Nya, artinya,
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. adz-Dzariyat:56)

Jika seseorang menggunakan jasad dan ruhnya untuk sesuatu yang bertetangan dengan tujuan dari penciptaannya maka kehidupan akan menjadi berantakan. Sebagai contoh, ketika seseorang sedang berjalan kaki, lalu sandalnya tiba-tiba putus, kemudian dia mengatakan, "Tidak apa-apa saya menggunakan peci saya untuk alas kaki. Lalu dia berjalan dengan alas peci tersebut. Maka orang yang melihatnya tentu akan mengatakan sebagai orang gila, karena peci adalah untuk tutup kepala bukan untuk alas kaki. Demikian pula ketika seseorang ingin menulis tidak menggunakan pena, namun menggunakan sepatu misalnya, maka jelas tidak akan dapat menulis dengannya.

Demikian pula manusia, dia diciptakan untuk beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala. Maka barang siapa yang menggunakan hidupnya bukan untuk fungsi itu dia akan celaka dan sengsara. Jika anda memperhatikan kondisi suatu masyarakat atau bangsa yang kehidupannya bukan untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, maka akan anda dapati mereka dalam keadaan rusak. Sehingga tidaklah mengherankan jika terlontar pertanyaan, "Mengapa tingkat kasus bunuh diri di negara yang menggunkan sistem kebebasan sangat tinggi? Mengapa di Amerika terjadi lebih dari dua puluh lima ribu kasus bunuh diri setiap tahunnya? Demikian pula kasus yang terjadi di Inggris, Peracis, Swedia dan lain-lain? Mengapa mereka bunuh diri? Apakah mereka tidak mendapati khamer secara bebas untuk diminum? Tidak, bahkan khamer dan minuman sejenis amatlah banyak di sembarang tempat. Apakah tidak ada negeri-negeri tempat melancong? Bahkan amat banyak negeri-negeri yang luas tempat mereka bersenang-senang. Lalu apakah mereka tidak diberi kebebasan untuk ini dan itu, apakah mereka dilarang berzina? Apakah tidak ada sarana hiburan, tempat-tempat permainan dan sejenisnya?

Tidak sama sekali! Bahkan mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan. Hidup dengan berbagai kesenangan dunia dan kehidupan seksual bebas, dan hal itu selalu ada di depan mata mereka. Jika demikian, mengapa mereka bunuh diri, mengapa mereka bosan hidup, mengapa mereka memilih mati dan meninggalkan khamer, zina dan segala permainan hidup?

Jawabannya sangatlah sederhana, yaitu sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wata’ala, artinya,
Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." (QS. 20:124)

Mereka selalu mendapatkan kesempitan hidup saat kedatangan dan kepergian mereka, dalam safar dan mukimnya mereka, ketika makan dan minum, tatkala berdiri dan duduk, selalu menyertai dalam tidur dan bangunnya dan dalam seluruh kehidupan mereka hingga mati.

Barangsiapa yang berpaling dari Allah subhanahu wata’ala dan peringatan-Nya, maka Allah akan memasukkan rasa ketakutan dan kesedihan di dalam hatinya. Dia berfirman, artinya,
Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim." (QS. 3:151)

Sedangkan orang yang mengenal Rabbnya, selalu menghadap kepada-Nya dengan sepenuh hati maka mereka mendapatkan kebahagiaan. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. 16:97)

Seorang Syaikh mengisahkan, “Aku pernah pergi berobat ke Inggris, dan aku masuk ke salah satu rumah sakit ternama yang ada di sana. Pasien yang masuk ke rumah sakit ini adalah orang-orang besar, pejabat tinggi dan para menteri. Ketika seorang dokter masuk ke ruanganku dan melihat penampilanku, dia berkata, "Anda seorang muslim? Aku menjawab, "Ya!" Dia lalu berkata, "Ada satu problem yang membuatku bingung setelah aku mengenal diriku, apakah mungkin anda mendengarkan apa yang saya alami? Aku jawab, "Tentu!

Dia lalu memulai ceritanya," Aku memiliki harta yang melimpah, pekerjaan yang sangat mapan, ijazah yang tinggi, dan aku telah mencoba seluruh kesenangan hidup, aku meminum berbagai jenis minuman keras, melakukan perzinaan dan seks bebas, pergi melancong ke negara ini dan itu. Akan tetapi mengapa aku selalu merasakan kesempitan hidup dan bosan dengan berbagai kesenangan itu? Aku telah berkali-kali mendatangi psikolog dan bahkan beberapa kali aku ingin mencoba bunuh diri, barangkali dengan itu aku mendapatkan kehidupan lain yang di sana tidak ada lagi kejenuhan dan kesempitan. Apakah anda tidak merasakan kejenuhan dan kesempitan di dalam hidup ini?" Aku katakan kepadanya, "Tidak, bahkan aku terus merasakan kebahagiaan, dan aku akan tunjukkan kepada anda jalan keluar dari masalah yang sedang anda hadapi, tetapi tolong jawab dulu pertanyaan saya!

“Jika anda ingin memuaskan mata anda maka apa yang anda lakukan? Dia menjawab, "Aku melihat wanita cantik dan pemandangan yang indah." Aku bertanya lagi, "Jika anda ingin memuaskan telinga anda maka apa yang anda lakukan? Dia berkata, "Aku mendengarkan musik yang merdu." Aku bertanya lagi, "Jika yang ingin anda puaskan adalah penciuman hidung maka apa yang anda lakukan? Dia lalu menjawab, "Aku mencium parfum atau pergi ke taman (untuk mencium bunga)."

Aku lalu berkata kepadanya, "Baiklah… sekarang saya bertanya, "Ketika anda ingin memuaskan mata, mengapa anda tidak mendengarkan musik saja?" Maka dia pun terheran-heran dan berkata, "Tidak mungkin, karena musik adalah khusus untuk dinikmati telinga." Lalu aku bertanya lagi, "Dan ketika anda ingin memuaskan penciuman hidung mengapa anda tidak melihat pemadangan yang indah?" Dia semakin heran dengan pertanyaanku, lalu berkata, "Tidak mungkin karena melihat pemandangan adalah untuk memuaskan mata."

Aku pun berkata, "Baik, kini aku telah sampai kepada apa yang aku inginkan dari diri anda. "Apakah anda merasakan jenuh di mata anda? Dia menjawab, "Tidak! Lalu apakah anda merasakannya di telinga anda, di hidung, mulut dan kemaluan anda? Dia menjawab, "Tidak, tetapi aku merasakan itu di dalam hatiku, di dalam dadaku." Aku berkata, "Anda merasakan kesempitan itu di dalam hati anda, padahal hati juga membutuhkan kepuasan tersendiri yang tidak akan mungkin dipenuhi dengan cara memuaskan anggota badan selainnya. Maka anda harus mengetahui apa saja yang dapat memberikan kepuasan hati (batin). Karena dengan mendengarkan musik, meminum khamer, memandang dan berzina yang anda lakukan itu tidak akan mungkin dapat memuaskan hati anda."

Orang tersebut keheranan lalu berkata, "Anda benar, lalu bagaimanakah cara untuk memuaskan hatiku?” Aku katakan, "Dengan bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah, dan anda bersujud di hadapan Allah yang menciptakan, anda mengadukan segenap kesedihan hanya kepada Allah subhanahu wata’ala. Dan dengan itu anda akan merasakan kehidupan yang lapang, penuh ketenangan dan kebahagiaan." Dia lalu mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata, "Berikan kepadaku buku tentang Islam dan berdoalah untukku, aku akan masuk Islam," tambahnya.

Maka aku pun menyelesaikan pengobatanku di sana, lalu setelah itu pulang kembali ke negeriku. Dan aku berharap orang itu benar-benar masuk Islam setelah itu. Benarlah firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Yunus :57-58)

Sumber: “Hal tabhatsu ‘an wadzifah,” hal 31-35, Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-’Arifi [Ibn Djawari]
Baca Selengkapnya

2 Juni 2013

Arti Sebuah Hadiah


Gambar dari abul-jauzaa.blogspot.com
Anjuran agar saling mendekatkan hati, saling bersaudara dan mencintai di antara sesama kaum muslimin merupakan salah satu sisi keindahan Islam. Islam mensyari'atkan sarana yang dapat menyebabkan keakraban, mendamaikan dan menghilangkan kabut hati. Di antara sarana itu adalah saling memberikan hadiah di antara sesama muslim.

Hadiah dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan ucapan dan permintaan ma'af. Ia mampu menghilangkan kabut hati, memadam kan api permusuhan, menenangkan kemarahan dan melenyapkan rasa iri hati dan kedengkian. Ia dapat mendatangkan kecintaan dan persahabatan setelah sekian lama tercerai-berai.

Hadiah selalu memberi kesan perdamaian, rasa cinta dan penghargaan dari si pemberi kepada yang diberi. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan agar memberi dan menerima hadiah. Beliau menjelaskan pengaruh hadiah di dalam meraih kecintaan dan kasih sayang di antara sesama manusia,
"Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai." (HR. al-Bukhari, al-Adab al-Mufrid)

Beliau juga bersabda,
"Penuhilah undangan orang yang mengundang, janganlah menolak hadiah..." (HR.Ahmad dan al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrid)

Mengenai hadits ini, Ibn Hibbân mengomentari, "Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengecam tindakan menolak hadiah di kalangan sesama muslim. Bila seseorang diberi sebuah hadiah, wajib baginya untuk menerimanya dan tidak menolaknya. Saya menganjurkan orang-orang untuk saling mengirim hadiah kepada sesama saudara. Sebab hadiah dapat melahirkan kecintaan dan menghilangkan rasa dendam."

Antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Hadiah

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan tidak menerima sedekah. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, "Bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disuguhi makanan, ia selalu bertanya; Apakah ia hadiah atau sedekah.? Jika dijawab, 'Sedekah' maka ia berkata kepada para shahabatnya, 'Makanlah oleh kalian' sementara ia tidak ikut memakannya. Sedangkan bila dijawab, 'hadiah' maka beliau mencuci tangannya lalu memakannya bersama mereka.'" (Muttafaqun 'alaih)

Hadits lainnya berasal dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan mendoakan pahala bagi (pemberi)-nya." (HR. al-Bukhari)

Salah satu jenis hadiah yang tidak pernah ditolak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah wewangian. Hal ini sebagaimana hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menolak wewangian." (HR. al-Bukhari) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, "Siapa saja yang dihadiahi 'Raihan', maka janganlah menolaknya sebab ia ringan dibawa namun sedap baunya." (HR.Muslim)

Apa Yang Dilakukan Orang-Orang Anshar?

Orang-orang Anshar amat mengetahui betapa hajat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kesulitan hidup yang dialaminya. Karena itu, mereka selalu mengirim kan hadiah dan pemberian untuk beliau. Hal ini diceritakan oleh 'Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada 'Urwah radhiyallahu ‘anhu bahwa seringkali di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dinyalakan api karena tidak memasak. Lalu ketika 'Urwah bertanya apa yang dimakan bila kondisinya demikian. 'Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, "Hanya korma dan air." Kemudian 'Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa sekalipun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam punya tetangga orang-orang Anshar yang selalu mengirimkan hadiah, yaitu berupa air susu onta." (Muttafaqun 'alaih)

Memberi Hadiah Jangan Diukur Nilai Materinya

Anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar saling memberi hadiah walaupun sedikit tidak ditinjau dari sisi nilai materinya tetapi lebih kepada nilai maknawinya sebagaimana yang telah disinggung di atas. Hal ini dapat terlihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau bersabda,
"Wahai para wanita kaum muslimin, janganlah ada seorang tetangga meremehkan pemberian tetangganya yang lain sekali ia (pemberian tersebut) berupa ujung kuku (teracak) unta." (HR.al-Bukhari). Padahal, apalah artinya kuku yang tentunya hanya menyisakan sedikit daging.

Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan menarik yang menunjukkan perlunya sikap tawadlu' (rendah hati) dalam menerima hadiah apa pun,
"Andaikata aku diundang untuk menyantap makanan (yang berupa) bagian hasta atau bagian di bawah tumit, niscaya aku penuhi undangan itu, dan andaikata aku dihadiahi hal yang sama juga niscaya aku menerimanya." (HR. al-Bukhari)

Bila kita renungkan lebih mendalam, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih membutuhkan makanan dari orang lain? Jawabannya sudah pasti, tidak. Sebab sebagaimana yang kita ketahui bahwa beliau diberi makan dan minum oleh Rabbnya akan tetapi hal itu merupakan pelajaran praktis agar bersikap tawadlu' dan rendah hati terhadap kaum muslimin apa pun kedudukan mereka.

Kehidupan para ulama Salaf juga sarat dengan hal itu di mana mereka saling memberi hadiah, sekecil apa pun bentuknya, terkadang ada yang hanya berupa kurma yang belum matang, ada yang berupa setangkai bunga mawar, ada yang hanya berupa garam yang ditumbuk dan tetumbuhan yang wangi aromanya.

Saling Memberi Hadiah antara Suami-Istri

Hadiah adalah sesuatu yang mengagumkan, apalagi bila terjadi di antara suami-isteri. Ia dapat menambah rasa kecintaan dan kedekatan hati antara keduanya, memperbarui ruh kehidupan rumah tangga dan menghilangkan perselisihan yang sebelumnya bisa saja akan bertambah meruncing bila kedua pasangan tidak menyadari apa yang dapat menghilangkannya.

Seorang istri lebih mudah tersentuh oleh hadiah yang diberikan suaminya ketimbang terhadap hadiah orang lain, demikian pula dengan sang suami. Bahkan bila ingin, isteri boleh memberikan sebagian maharnya kepada sang suami asalkan secara sukarela. Allah subhanahu wata’alaberfirman,
"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (an-Nisâ`:4)

Beberapa Hal Penting yang Perlu Diperhatikan

1. Tidak boleh mengambil kembali hadiah yang telah diberikan kepada orang lain sebab hal itu sebagaimana makna sebuah hadits sama seperti anjing yang menelan lagi makanan yang telah dimuntahkannya. (Muttafaqun 'alaih).

Akan tetapi, boleh mengambil kembali hadiah yang telah diberikan karena alasan yang sesuai syari'at seperti curiga bahwa ia berasal dari hasil suap. Contohnya, ash-Sha'b bin Jatstsamah radhiyallahu ‘anhu pernah memberi hadiah seekor keledai liar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ,, ,,namun beliau menolak nya karena ia sedang berpakaian ihram. Demikian pula, bila seorang pegawai yang sudah memiliki gaji diberi hadiah, maka ia tidak boleh menerimanya dan ini seperti kasus Ibn al-Lutbiyyah di mana Rasulullah mengecamnya. (Muttafaqun 'alaih)

2. Hendaknya yang lebih diutamakan di dalam memberi hadiah adalah keluarga terdekat; kaum kerabat seperti paman pihak ibu dan ayah dan orang semisal mereka. Demikian juga boleh mendahulukan orang yang di hati seseorang mendapat tempat yang dekat. Imam al-Bukhari mencantumkan bab tentang siapa yang lebih dahulu harus diberi hadiah, lalu beliau mengetengahkan dua hadits; yang pertama, beliau menyarankan kepada sang penanya agar diberikan kepada paman dari garis ibunya dan yang ke dua ketika ditanyai kepada beliau mana di antara dua tetangga yang didahulukan dalam memberi hadiah, beliau menjawab, "Yang paling dekat pintunya darimu."

=================================================
Ibnu Yahya
www.alsofwah.or.id
Baca Selengkapnya

Nasehat Bagi Muslimah! Cara Memanfaatkan Waktu

Bila waktu tidak digunakan dengan baik maka akan terbuang untuk perkara yang sia-sia. Semua orang merasakan hal itu. Maka jika seseorang tidak mengisi waktunya dengan kebaikan, ia akan menghabiskan waktunya untuk kejelekan. Orang yang tidak mengambil faedah dari waktu mereka, menyia-nyiakannya untuk perkara yang merugikan, maka waktunya itu akan menjadi padang rumput bagi syetan-syetan yang senantiasa membolak-balikkannya dalam kesesatan. Na'udzubillah.

Orang-orang yang sadar akan cepatnya waktu berlalu, mereka adalah orang-orang yang mendapatkan taufik dari Allah sehingga waktu mereka benar-benar bermanfaat. Dari Abdullah Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu bahwasanya dia berkata: "Tidaklah aku menyesali sesuatu, seperti penyesalanku atas suatu hari yang berlalu dengan terbenamnya matahari, semakin berkurang umurku tetapi tidak bertambah amalanku."

Maka perlu Anda ketahui beberapa hal wahai ukhti muslimah tentang bagaimana memanfaatkan waktumu:

1. Membaca bacaan yang bermanfaat

Wahai ukhti muslimah, hendaklah engkau memperbanyak membaca Al-Qur'anul Karim dan menghafal serta mendengarkannya. Rasul Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Orang yang membaca Al-Qur'an sedang dia terbata-bata dalam membacanya serta kesulitan dalam membacanya maka dia mendapatkan dua pahala, sedangkan orang yang membaca dengan mahir maka dia bersama para penulis kitab (malaikat) yang mulia lagi berbakti." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

2. Berdzikir kepada Allah

Ini adalah amalan yang mudah, setiap orang mampu melakukannya, baik orang kaya maupun miskin, orang yang berilmu maupun jahil, orang merdeka atau budak, laki-laki maupun wanita, besar ataupun kecil.

Wahai ukhti muslimah, hendaknya engkau berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaan, dan jadikanlah berdzikir sebagai amalan yang mengisi hari-harimu, lebih-lebih lagi hal itu merupakan amalan yang amat mudah engkau lakukan.

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan perbedaan antara orang yang berdzikir kepada Allah dengan orang yang tidak berdzikir, seperti perbedaan antara orang yang hidup dan orang yang mati. Sabda Rasul Shalallahu 'alaihi wa sallam :
"Barangsiapa yang bangun di malam hari kemudian mengucapkan:
Laa ilaha illallahu wah dahu laa syarikalahu lahul mulku walahul hamdu biyadihil khair yuhyii wayumiitu wahuwa 'ala kulli syaiin qadiir. SubhaanAllahi Walhamdulillaahi walaa ilaha illallahu waAllaahu akbar walaa haula wala quwwata illaa billaahi.
kemudian dia berdo'a : Allaahummagfirli.
(Ya Allah ampunilah aku) niscaya akan diterima do' anya. Dan jika dia berwudhu (untuk shalat) niscaya diterima shalatnya
". (HR. Al-Bukhari).

3. Mendidik anak-anak

Wahai ukhti muslimah, mendidik anak-anak merupakan tanggung jawab yang agung, tugas itu merupakan tanggung jawab yang besar bagimu. Karena laki-laki lebih banyak kesibukannya daripada wanita dan lebih sedikit tinggal di rumah. Adapun seorang ibu lebih dekat kepada anak-anaknya dan lebih banyak di rumah.

4. Memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang mungkar

Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu 'anhu dia berkata:
"Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Barang-siapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaklah dia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisan (nasihat). Dan jika tidak mampu maka hendaklah meng-ubahnya dengan hati (tidak senang dengan kemungkaran itu) dan itulah selemah-lemah iman'." (HR. Muslim).

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan wanita muslimah dalam menjaga waktunya:

1. Hendaklah dia senantiasa merasa diawasi Allah Ta'ala dan takut kepadaNya.

Seorang wanita muslimah yang merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata'ala, takut kepadaNya dan merasa takut akan hukumanNya serta mengharapkan pengampunanNya tidak mungkin menyia-nyiakan waktunya tanpa faedah, bahkan dia lebih semangat untuk mengoreksi dirinya setiap saat.

2. Wanita muslimah hendaklah mengetahui waktu dan tempat yang mempunyai keutamaan.

Wanita muslimah perlu mengambil faedah, dengan mengetahui waktu-waktu dan tempat-tempat yang mempunyai keutamaan. Misalnya, kapan dilipatganda-kannya pahala setiap amalan. Di antaranya adalah sepertiga akhir malam. Ia merupakan waktu yang utama dan waktu dikabulkannya do'a.

3. Wanita muslimah hendaknya mengetahui kewajiban-kewajibannya.

Di antaranya kewajiban kepada Rabb-nya, kewajiban kepada orang tuanya, kewajiban kepada suaminya, kewajiban terhadap anaknya, kewajiban terhadap kaum kerabatnya, kewajiban terhadap tetangga, kewajiban terhadap saudara dan temannya, dan kewajiban terhadap masyarakatnya.
Wanita muslimah harus mendirikan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Tidak melalaikan waktu-waktu shalat tersebut karena disibukkan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, atau tugas sebagai ibu dan istri. Sebab shalat merupakan tiang agama, siapa yang menegakkannya berarti dia menegakkan agama, dan siapa yang meninggalkan-nya berarti dia telah merobohkan agama. Shalat merupakan amal yang paling utama.

Diriwayatkan Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu dia berkata: "Aku bertanya kepada Rasulullah SAW apakah amal yang paling utama?" Beliau menjawab, "Shalat tepat pada waktunya." Aku bertanya, kemudian apa lagi? Beliau menjawab, " Berbakti kepada orang tua." Aku bertanya, kemudian apa lagi? Beliau menjawab, "Jihad di jalan Allah." (Muttafaq Alaih).

Wanita muslimah yang taat tidak merasa cukup hanya melaksanakan shalat wajib lima waktu, tetapi juga melaksanakan shalat-shalat sunnah rawatib dan nawafil (sunnah secara mutlak), sesuai dengan kesempatan dan kesanggupannya, seperti shalat dhuha dan shalat tahajud. Sebab shalat-shalat sunah ini dapat mendekatkan hamba kepada Rabb -nya, mendatangkan kecintaan Allah dan ridhaNya, menjadikannya termasuk orang-orang yang shalih, taat dan beruntung.

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah hadist qudsy Allah berfirman: "Hambaku senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan melaksanakan shalat-shalat nafilah hingga Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya, dengannya dia mendengar, Aku menjadi penglihatannya, dengannya dia melihat, Aku menjadi tangannya, dengannya dia bertindak, Aku menjadi kakinya, dengannya dia berjalan. Jika dia memohon kepadaKu maka Aku benar-benar akan memberinya dan Jika dia meminta perlindungan kepadaKu maka Aku benar-benar akan melindunginya". (HR.Al-Bukhari).

Dan hal-hal lain yang merupakan kewajiban seorang wanita muslimah, dan jangan lupa memohon taufik kepada Allah untuk merealisasikan semua itu!

4. Hendaklah seorang wanita muslimah memilih majlis yang baik.

Seorang manusia sesuai tabiatnya tidak mungkin hidup sendiri bahkan dia harus mempunyai teman duduk, dan yang paling ideal adalah teman duduk yang mempunyai akhlak yang mulia. Sebagaimana sabda Nabi Shalallau 'alahi wa sallam :
"Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik dengan teman yang buruk adalah seperti pembawa minyak wangi dengan seorang pandai besi". (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Mudah-mudahan Allah Taala memberi kekuatan kepada kita agar senantiasa dapat menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Amin


Maraji: Kaifa Taqdhi Al-Maratul Muslimah Waqtaha: Sulaiman Ibnu Muhammad, Risalah Ila Kulli Muslim: Abdullah Ibnu Jarullah Ibrahim Al-Jarullah, Syakhshiyah Al-Mar'ah Al-Muslimah: Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimy dan Hadits Arba'in An-Nawawi.
===========================================================
Ummu Abdillah
www.alsofwah.or.id
Baca Selengkapnya

Melacak Virus Kemunafikan

Nifaq adalah penyakit yang berbahaya dan membinasakan. Orang yang telah terserang penyakit ini tidak mungkin mendapatkan keberuntungan selamanya, kecuali jika bertaubat. Di dalam hati mereka terdapat penyakit dan Allah menambah lagi penyakitnya itu, karena mereka adalah pendusta.

Itulah munafiqin, penjual akhirat dengan kesenangan sesaat di dunia, berpura-pura menampakkan keislaman, namun hatinya memendam kekufuran dan keingkaran yang tak terhingga. Allah telah membongkar kedok dan isi hati mereka, bahwasanya mereka adalah orang yang benci terhadap apa yang diturunkan oleh Allah sehingga perbuatan baik yang mereka tampakkan tidaklah bermakna, lenyap hilang begitu saja di hadapan Allah. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya,

"Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (QS. 47:9)
Berdusta dalam setiap ucapan, mengkhianati janji, curang di dalam perdebatan, tidak mau bersikap inshaf (adil), senang dengan penyelewengan dan enggan terhadap ayat adalah sebagian sifat mereka.

Kalau diajak melakukan kebaikan mereka lari, ketika melihat harta dan gemerlap dunia mereka berkerumun, tidak memegang sumpah, tidak mensyukuri nikmat dan di dadanya menyimpan kekufuran. Hati mereka gelap dan hitam pekat, tidak ada cahaya Islam dan tauhid, bahkan terselimuti kesyirikan, kekufuran dan kemaksiatan. Selalu menuruti hawa nafsu dan syahwat, enggan berbuat taat kepada Allah dan RasulNya, bahkan justru membelakanginya.

Dalam lembaran yang terbatas ini kami sampaikan beberapa ciri-ciri orang munafiq, bukan untuk diikuti, namun agar jangan sampai sifat-sifat tersebut melekat pada diri kita. Sebagaimana yang sering diungkapkan, bahwa kita mengetahui keburukan bukan untuk dikerjakan, namun agar dapat berhati-hati, barangsiapa tidak mengatahui keburukan, maka sangat mungkin akan terjerumus ke dalamnya.

Di antara sifat-sifat tersebut adalah:
 
Berdusta

Dusta adalah sifat yang paling dominan dari seorang munafik, dan kedustaan terbesar adalah mengatakan keimanan, padahal hatinya ingkar. Ahlun nifaq selalu identik dengan kedustaan yang senantiasa melekat pada mereka, di mana pun berada dalam setiap gerak dan diamnya.

Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman:
"Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui, bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. 63:1)

Setiap muslim yang suka berdusta berarti telah terkena virus kemunafik-an, maka hendaklah segera mengobati penyakit ini dan menjauh sejauh-jauhnya. Seorang salaf mengatakan, "Termasuk dosa terbesar adalah lisan yang banyak berdusta (al-lisan al kadzub).

Membuat Kerusakan di Bumi

Setiap kali mereka membuat kerusakan di muka bumi, mereka menyangka telah melakukan perbaikan. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah memberitahukan tentang mereka melalui firman Nya, yang artinya:
"Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan". Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS. 2:11-12)

Kerusakan orang munafik yang paling mendasar adalah mendahulukan akal dan hawa nafsu daripada syariat Allah. Mereka menyangka sedang memperbaiki atau meluruskan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. Mereka mengutak atik ayat dan hadits beserta pemahamannya dengan alasan penyegaran dan pembaharuan, dan fenomena ini akan terus berkembang dari masa ke masa. Jadi yang mereka maksudkan dengan ishlah (perbaikan) adalah segala yang mengikuti akal dan pendapat mereka, bukan syariat Islam.

Modal mereka adalah ucapan yang manis dan humanis, penampilan yang keren dan meyakinkan, sehingga dengan itu mereka mudah untuk mengelabuhi orang dan menyembunyikan kemunafikannya.
Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar.” (QS. Al-Munafiqun: 4)

Merendahkan Orang yang Berpegang dengan Syari'at Islam

Ini adalah sifat yang sangat klasik dan terus ada hingga kini, para munafiqin sangat benci terhadap orang yang berpegang teguh dengan syari'at Islam. Mereka beranggapan, bahwa tunduk terhadap syariat adalah kedu-nguan, kebodohan dan kehinaan. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman artinya,
Apabila dikatakan kepada mereka, "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman. Mereka menjawab, "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman". Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.” (QS. 2:13)

Menyebarkan Keraguan Terhadap Segala yang Berkaitan dengan Islam

Mereka terus mencari celah agar manusia ragu dan bahkan anti terhadap ajaran Islam entah itu dakwahnya, berbagai kegiatannya, jihad dan amal baik yang lain. Allah telah menggambarkan mereka tatkala menggembosi kaum muslimin di dalam perang Ahzab, mereka mengatakan, bahwa Allah dan RasulNya hanya memberikan janji bohong.

Begitu pula munafikin di masa kini, merekapun tak segan-segan membuat propaganda untuk mengaburkan ajaran Islam. Seperti ucapan mereka, bahwa jilbab hanyalah adat orang Arab, pengekangan terhadap hak wanita, kemudian hukum rajam dan qishash adalah pelanggaran HAM dan lain sebagainya.

Berpenampilan Menipu

Yakni mulut mereka manis, penampilan mereka menarik dan meyakinkan, namun hati mereka amat dengki terhadap Islam dan kaum mukmin. Hidup mereka tergantung kepada orang, tak mampu berdiri tegak menunjukkan sikap dan jati diri, sehingga Allah menyifati mereka sebagai batang kayu yang tersandar. Ketika berada di kalangan mukmin berlagak mukmin dan ketika berkumpul dengan orang kafir mereka menampakkan keasliannya sebagai orang kafir.

Tidak Percaya Kepada Allah dan Tidak Membenarkan Janji-Nya

Salah satu fakta yang menunjukkan hal itu adalah tatkala terjadi perang Ahzab, orang-orang munafik senantiasa berprasangka buruk kepada Allah. Berbeda dengan orang mukmin, “Dan tatkala orang-orang mu'min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". (QS.33: 22)

Berkali-kali orang munafik menampakkan sikap tidak percaya terhadap Allah dan Rasul Nya, sebagaimana yang terjadi juga dalam perang Tabuk, mereka menyampaikan alasan yang dibuat-buat, agar dapat pulang ke rumah mereka.

G. Riya'

Mereka tidak melakukakan ibadah kecuali dengan keadaan terpaksa, malas mengerjakan shalat. Mereka mengerjakannya hanya sekedar sebagai kedok untuk menutupi kemunafikannya di hadapan kaum muslimin. Demikian pula di dalam membayar zakat, infak dan lain-lain sekedar untuk mengelabuhi orang-orang mukmin. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman menyifati mereka,
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah, kecuali sedikit sekali”. (QS. 4:142)
Ada pun tentang infak yang mereka keluarkan, maka Allah telah membeberkan,
Dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (QS. 9:54)
Mereka telah rugi serugi-ruginya di dunia dan di akhirat, di dunia telah bersusah payah beramal, shalat, melakukan ini dan itu, namun statusnya tetap sebagai orang kafir yang kekal di neraka.

Senang Memecah Belah Kaum Muslimin

Mereka lakukan itu dengan berbagai cara dan strategi, di antaranya adalah:

    Menghalangi Orang untuk Berinfak
    Sebagaimana yang pernah mereka ucapkan kepada kaum Anshar ketika kaum Muhajirin sampai di Madinah. “Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar), "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)" (QS. 63: 7)
    Sehingga jika kesenjangan sosial di kalangan kaum muslimin mencolok, maka sangat mudah bagi mereka menyulutkan permusuhan.

    Memprovokasi Orang dengan Berita Dusta
    Ini juga pernah terjadi pada masa Rasulullah, yakni ketika terjadi fitnah yang mendera keluarga Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang terkenal dengan haditsatul ifk yang dihembuskan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Allah menjelaskan kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, bahwa yang menghembuskan fitnah adalah "thaifah minkum" mereka ikut shalat dengan kaum muslimin dan bergabung bersama barisannya.

    Menyeru Kepada Budaya Jahiliyah
    Seperti fanatisme golongan dan kesukuan, berpecah belah dan membentuk kelompok sendiri yang meyempal dari jamaah kaum muslimin dan imam mereka, karena orang munafik tidak suka kalau umat Islam bersatu.


Senang Mengolok-Olok Ajaran Islam dan Kaum Muslimin

Karena pada dasarnya mereka bukanlah orang Islam, setiap kali turun ayat semakin membuat mereka jengkel dan dongkol. Sebagaimana yang pernah terjadi pada perang Tabuk, di antara mereka ada yang mengejek Nabi dan para Shahabat dengan menyebut mereka sebagai besar perut, pendusta dan penakut. Maka Allah menurunkan ayat yang artinya, "Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?".Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. 9:65-66)

Amat banyak di zaman ini manusia yang mengejek dan merendahkan kaum muslimin dan para ulama mereka yang kosisten dengan Islam, baik itu diungkapkan maupun disimpan di hati. Ada yang menghina dengan menga-takan sebagai orang kolot dan biang keterbelakangan, pengacau dan teroris, kaku dan ekstrim.Mereka mengolok-olok dan menjelek-jelekkan kaum muslimin dan bahkan sampai menyakiti dengan kekerasan baik fisik maupun psikologis.
 
Enggan Mempelajari Agama

Tidak mau belajar, tidak mau mempelajari Islam, dan tidak mau mengetahuinya. Ini sangatlah jelas karena mereka pada dasarnya memang membenci Islam, maka Allah Subhannahu wa Ta'ala menjelaskan, bahwa orang munafik tidak mengetahui dan tidak memahami Islam dan kehidupan.
Baca Selengkapnya

Saat-saat Terkabulnya Do'a

gambar dari google
Berdoa dianjurkan kapan saja. Tetapi ada saat-saat istimewa. Kapan?

1. Waktu sepertiga malam terakhir saat orang lain terlelap dalam tidurnya.
Allah berfirman: "...Mereka (para muttaqin) sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah)."(QS. Adz-Dzariyat: 18-19).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Rabb (Tuhan) kita turun di setiap malam ke langit yang terendah, yaitu saat sepertiga malam terakhir, maka Dia berfirman : Siapa yang berdoa kepadaKu maka Aku kabulkan, siapa yang meminta kepadaKu maka Aku berikan kepadanya, dan siapa yang meminta ampun kepadaKu maka Aku ampunkan untuknya." (HR. Al-Bukhari no. 1145, 6321 dan Muslim no. 758).

Dan Amr bin Ibnu Abasah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tempat yang paling mendekatkan seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat ia dalam sujudnya dan jika ia bangun melaksanakan shalat pada sepertiga malam yang akhir. Karena itu, jika kamu mampu menjadi orang yang berdzikir kepada Allah pada saat itu maka jadilah." (HR. At Tirmidzi, Ahmad dan dishahihkan oleh At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, dan Al-Albani).

2. Waktu antara adzan dan iqamah, saat menunggu shalat berjama'ah.
Sayangnya waktu mustajab ini sering disalahgunakan sebagian umat Islam yang kurang mengerti sunnah atau oleh orang yang kurang menghargai sunnah, sehingga diisi dengan hal-hal yang tidak baik dan tidak dianjurkan Islam, membicarakan urusan dunia, atau hal-hal lain yang tidak bernilai ibadah. Hal-hal semacam ini sangat merugikan pelakunya karena tidak mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sempurna.

Ketentuan waktu ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Doa itu tidak ditolak antara adzan dan iqamah, maka berdoalah!" (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan menurut Al-Arnauth dalam Jami'ul Ushul).

Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Amr Ibnul Ash radhiallahu anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya para muadzin itu telah mengungguli kita", maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ucap-kanlah seperti apa yang diucapkan oleh para muadzin itu dan jika kamu selesai (menjawab), maka memohonlah, kamu pasti diberi." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban, di-hasan-kan oleh Al-Arnauth dan Al-Albani).

3. Pada waktu sujud.

Yaitu sujud dalam shalat atau sujud-sujud lain yang diajarkan Islam. Seperti sujud syukur, sujud tilawah dan sujud sahwi. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Keberadaan hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika ia dalam keadaan sujud, maka perbanyaklah doa." (HR. Muslim).

Dan hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhu, ia berkata : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membuka tabir (ketika beliau sakit), sementara orang-orang sedang berbaris (shalat) di belakang Abu Bakar radhiallahu anhu, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Wahai sekalian manusia, sesung-guhnya tidak tersisa dari mubasysyirat nubuwwah (kabar gembira lewat kenabian) kecuali mimpi bagus yang dilihat oleh seorang muslim atau diperlihatkan untuknya. Ingatlah bahwasanya aku dilarang untuk membaca Al-Qur'an ketika ruku' atau ketika sujud. Adapun di dalam ruku', maka agungkanlah Allah dan adapun di dalam sujud, maka giat-giatlah berdoa, sebab (hal itu) pantas dikabul-kan bagi kalian." (HR. Muslim).

4. Setelah shalat fardlu

Yaitu setelah melaksanakan shalat-shalat wajib yang lima waktu, termasuk sehabis shalat Jum'at. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan selesai shalat." (QS. Qaaf: 40).

Juga berdasarkan hadits Umamah Al-Bahili , ia berkata : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang doa apa yang paling didengar (oleh Allah), maka beliau bersabda:
"Tengah malam terakhir dan setelah shalat-shalat yang diwajibkan." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata: hadist ini hasan ).

Karena itu Imam Syafi'i dan para pengikutnya berkata, dianjurkan bagi imam dan makmumnya serta orang-orang yang shalat sendirian memper-banyak dzkir, wirid dan doa setelah selesai shalat fardhu. Dan dianjurkan membaca dengan pelan, kecuali jika makmum belum mengerti maka imam boleh mengeraskan agar makmum menirukan. Setelah mereka mengerti, maka semua kembali pada hukum semula yaitu sirri (samar-samar). (Syarh Muhadzdzab, III/487).

5. Pada waktu-waktu khusus, tetapi tidak diketahui dengan pasti batasan-batasannya.

yaitu sesaat di setiap malam dan sesaat setiap hari Jum'at. Hal ini berdasarkan hadist Jabir radhiallahu anhu, ia berkata: Saya mendengar Rasu-lullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya di malam hari ada satu saat (yang mustajab), tidak ada seorang muslim pun yang bertepatan pada waktu itu meminta kepada Allah kebaikan urusan dunia dan akhirat melainkan Allah pasti mem-beri kepadanya." (HR. Muslim).

Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut hari Jum'at, beliau bersabda: "Di dalamnya ada satu saat (yang mustajab) tidaklah seorang hamba muslim yang kebetulan waktu itu sedang mendirikan shalat (atau menunggu shalat) dan memohon kepada Allah sesuatu (hajat) melainkan Allah pasti mengabulkan permohonannya." dan Nabi mengisyaratkan dengan tangannya akan sedikitnya saat mustajab itu." (HR. Al-Bukhari).

Di dalam hadist Muslim dan Abu Dawud dijelaskan:
"Yaitu waktu antara duduknya imam (khatib) sampai selesainya shalat (Jum'at)". Inilah riwayat yang paling shahih dalam hal ini. Sedangkan dalam hadist Abu Dawud yang lain Nabi memerintahkan agar kita mencarinya di akhir waktu Ashar.

An-Nawawi rahimmahullah menjelaskan bahwa para ulama berselisih dalam menentukan saat ijabah ini menjadi sebelas pendapat. Yang benar-benar saat ijabah adalah di antara mulai naiknya khatib ke atas mimbar sam-pai selesainya imam dari shalat Jum'at. Hal ini berdasarkan hadist yang sangat jelas dalam riwayat Muslim di atas.

Imam An-Nawawi rahimmahullah melanjut-kan: "Adapun hadist yang berbunyi: 'Carilah saat itu pada akhir sesudah Ashar' (HR. Abu Dawud dan An-Nasa'i dengan sanad shahih), maka hal ini memberi kemungkinan bahwa saat ijabah itu bisa berpindah-pindah, kadang-kadang di saat ini, kadang-kadang di saat itu seperti halnya lailatul qadar."

Imam Ahmad rahimmahullah berkata: "Kebanyakan ahli hadits menyatakan saat itu adalah setelah Ashar dan diharapkan setelah tergelincirnya matahari."

Lain dengan Ibnu Qayyim. Beliau menjadikannya sebagai dua waktu ijabah yang berlainan. Dalam Kitab Al-Jawabul Kafi beliau berkata:

(Pertama), jika doa itu disertai dengan hadirnya kalbu dan totalitasnya dalam berkonsentrasi terhadap apa yang diminta, dan bertepatan dengan salah satu dari waktu-waktu ijabah yang enam itu, yaitu :
  • Sepertiga akhir dari waktu malam.
  • Ketika adzan.
  • Waktu antara adzan dan iqamah.
  • Setelah shalat-shalat fardlu.
  • Ketika imam naik ke atas mimbar pada hari Jum'at sampai selesainya shalat Jum'at pada hari itu.
  • Waktu terakhir setelah Ashar".

(Kedua), jika doa tadi bertepatan dengan kekhusyu'an hati, merendahkan diri di hadapan Sang Penguasa. Menghadap kiblat, berada dalam kondisi suci dari hadats, mengangkat kedua tangan, memulai dengan tahmid (puji-pujian), kemudian membaca shalawat atas Muhammad. Lalu bertobat dan beristighfar sebelum menyebutkan hajat. Kemudian menghadap kepada Allah, bersungguh-bersungguh dalam memohon dengan penuh kefaqiran, dibarengi dengan rasa harap dan cemas. Dan bertawassul dengan asma dan sifat-Nya serta mentauhidkan-Nya. Lalu ia dahului doanya itu dengan sedekah terlebih dahulu, maka doa seperti itu hampir tidak tertolak selamanya. Apalagi jika memakai doa-doa yang dikabarkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagai doa yang mustajab atau yang mengandung Al-Ismul-A'zham (Nama Allah Yang Mahabesar)."
Ya Allah, kabulkanlah doa-doa kami. 

Sumber rujukan :
    Syekh Muhammad Thariq Muhammad Shalih, A'malul Muslim filYaumi wal Lailah.
    Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fathul Bari 11/132.
    An-Nawawi, Majmu' IV/487 dan 548 -550.
    Ibnu Qayyim, Al-Jawabul Kafi Hal 12.
    Dan lain-lain.
==================================================
Abu Hamzah
www.alsofwah.or.id

Baca Selengkapnya