7 Agustus 2014

Nasehat Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Tentang ISIS dan Khilafah Khayalan Mereka

Oleh: Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr hafizhahullah
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وحده وصلى الله وسلم على من لا نبي بعده نبينا محمد وعلى آله وصحبه. أما بعد؛

Beberapa tahun lalu, di Iraq lahir sebuah kelompok yang menamakan diri mereka دولة الإسلام بالعراق والشام (dalam versi bahasa Inggris: Islamic State of Iraq and Sham; ISIS), dan dikenal juga dengan singkatan [داعش] yang diambil dari huruf-huruf awal nama daulah khayalan tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian pengamat yang mengikuti perkembangan mereka, munculnya daulah khayalan ini diikuti dengan munculnya sejumlah nama: Abu Fulan Al Fulani atau Abu Fulan bin Fulan, yaitu berupa kun-yah yang disertai penisbatan kepada suatu negeri atau kabilah. Inilah kebiasaan orang-orang majhul (orang yang tidak jelas) yang bersembunyi di balik kun-yah dan penisbatan.
Kemudian setelah beberapa waktu terjadinya peperangan di Suriah antara pemerintah dan para penentangnya, masuklah sekelompok orang dari ISIS ini ke Suriah. Bukan untuk membantu memerangi pemerintah Suriah, namun malah memerangi Ahlus Sunnah yang berjuang melawan pemerintah Suriah dan membantai Ahlus Sunnah. Dan sudah masyhur bahwa cara mereka membunuhi orang-orang yang ingin mereka bunuh seenaknya yaitu dengan menggunakan golok-golok yang merupakan cara terburuk dan tersadis.
Di awal bulan Ramadhan tahun ini (1435 H) mereka mengubah nama mereka menjadi الخلافة الإسلامية (Al-Khilafah Al-Islamiyah). Khalifahnya yang disebut dengan Abu Bakar Al Baghdadi berkhutbah di sebuah masjid jami’ di Mosul. Diantara yang ia katakan dalam khutbahnya: “Aku dijadikan pemimpin bagi kalian padahal aku bukan orang yang terbaik di antara kalian”. Sungguh ia telah berkata benar, bahwa ia bukanlah orang yang terbaik di antara mereka, karena ia telah membunuhi orang seenaknya dengan golok-golok. Apabila pembunuhan tersebut atas perintahnya, atau ia mengetahuinya atau ia menyetujuinya, maka justru ia adalah orang yang terburuk di antara mereka. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه، لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا، ومن دعا إلى ضلالة كان عليه من الإثم مثل آثام من تبعه، لا ينقص ذلك من آثامهم شيئا
barangsiapa mengajak kepada jalan petunjuk, maka ia mendapatkan pahala semisal pahala orang yang mengikutinya. tanpa mengurangi pahala orang yang mengkutinya itu sedikitpun. Dan barangsiapa mengajak keada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa semisal dosa orang yang mengikutinya. tanpa mengurangi dosa orang yang mengkutinya itu sedikitpun” (HR. Muslim, 6804)
Kalimat yang ia katakan tersebut dalam khutbahnya, sebenarnya adalah kalimat yang telah dikatakan oleh khalifah pertama umat Islam setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu wa ardhaah. Namun beliau adalah orang yang terbaik dari umat ini, dan umat ini adalah umat yang terbaik dari umat-umat yang ada. Beliau berkata demikian dalam rangka tawadhu’ (rendah hati) padahal beliau sendiri tahu dan para sahabat juga tahu bahwa beliau adalah orang yang terbaik di antara mereka berdasarkan dalil-dalil berupa ucapan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengenai hal tersebut. Maka sebaiknya firqah ini (ISIS) sadar diri dan kembali kepada jalan petunjuk sebelum daulah mereka hilang dihembus angin sebagaimana daulah-daulah yang telah ada semisalnya di berbagai zaman.
Dan suatu hal yang disayangkan, fitnah (musibah) khilafah khayalan yang lahir beberapa waktu yang lalu ini, diterima dan disambut oleh sebagian pemuda di negeri Al-Haramain. Mereka bahagia dan senang terhadap khilafah khayalan ini sebagaimana senangnya orang yang haus ketika mendapatkan minuman. Dan diantara mereka juga ada yang mengaku telah berbai’at kepada khalifah majhul tersebut! Bagaimana mungkin bisa diharapkan kebaikan dari orang-orang yang memiliki pemahaman takfir (serampangan memvonis kafir) dan taqtil (serampangan membunuh orang) dengan cara membunuh yang paling kejam dan sadis?
Maka yang menjadi kewajiban atas para pemuda tersebut untuk melepaskan diri mereka dari pengaruh para provokator, dan hendaklah mereka ruju’ kepada apa yang datang dari Allah ‘Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam dalam setiap tindak-tanduk mereka. Karena pada keduanya ada keterjagaan, keselamatan dan kesuksesan di dunia dan akhirat. Dan hendaknya mereka juga ruju’ kepada para ulama yang senantiasa menasihati mereka dan kaum muslimin. Diantara contoh keselamatan dari kesesatan karena ruju’ kepada para ulama adalah sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya (191) dari Yazid Al Faqir, ia berkata:
كنتُ قد شَغَفَنِي رأيٌ من رأي الخوارج، فخرجنا في عِصابةٍ ذوي عدد نريد أن نحجَّ، ثمَّ نخرجَ على الناس، قال: فمررنا على المدينة فإذا جابر بن عبد الله يُحدِّث القومَ ـ جالسٌ إلى ساريةٍ ـ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: فإذا هو قد ذكر الجهنَّميِّين، قال: فقلتُ له: يا صاحبَ رسول الله! ما هذا الذي تُحدِّثون؟ والله يقول: {إِنَّكَ مَن تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ}، و {كُلَّمَا أَرَادُوا أَن يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا}، فما هذا الذي تقولون؟ قال: فقال: أتقرأُ القرآنَ؟ قلتُ: نعم! قال: فهل سمعت بمقام محمد عليه السلام، يعني الذي يبعثه فيه؟ قلتُ: نعم! قال: فإنَّه مقام محمد صلى الله عليه وسلم المحمود الذي يُخرج اللهُ به مَن يُخرج. قال: ثمَّ نعتَ وضعَ الصِّراط ومرَّ الناس عليه، قال: وأخاف أن لا أكون أحفظ ذاك. قال: غير أنَّه قد زعم أنَّ قوماً يَخرجون من النار بعد أن يكونوا فيها، قال: يعني فيخرجون كأنَّهم عيدان السماسم، قال: فيدخلون نهراً من أنهار الجنَّة فيغتسلون فيه، فيخرجون كأنَّهم القراطيس. فرجعنا، قلنا: وَيْحَكم! أَتَروْنَ الشيخَ يَكذِبُ على رسول الله صلى الله عليه وسلم؟! فرجعنا، فلا ـ والله! ـ ما خرج منَّا غيرُ رَجل واحد، أو كما قال أبو نعيم
Dulu aku pernah terpengaruh dan begitu menyukai suatu pemikiran dari pemikiran Khawarij, lalu kami keluar bersama sekelompok orang banyak untuk berhaji. Kami pun keluar bersama orang-orang. Kemudian tatkala kami melewati Madinah, kami mendapati Jabir bin ‘Abdillah tengah duduk di tengah para musafir untuk mengajarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Beliau menyebutkan tentang Al Jahannamiyun (orang-orang yang dikeluarkan dari neraka). Aku pun berkata kepada Jabir bin ‘Abdillah, ‘Wahai shahabat Rasulullah, apa yang sedang kau katakan ini? Bukankah Allah berfirman (yang artinya): Wahai Rabb kami, sesungguhnya siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan dia” (QS. Ali ‘Imran: 192). Allah juga berfirman (yang artinya): “Setiap kali mereka (para penghuni neraka) hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya” (QS. As-Sajdah: 20). Lalu apa yang kalian katakan ini?”. Maka Jabir bin ‘Abdillah pun berkata, “Apakah kau membaca Al Quran?”. Aku menjawab, “Ya”. Jabir berkata, “Lantas apakah kau mendengar tentang kedudukan Muhammad ‘alaihis salam? Yakni kedudukan yang beliau diutus kepadanya?”. Aku menjawab, “Ya”. Jabir “Maka sesungguhnya itulah kedudukan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang terpuji, yang dengan sebabnya lah Allah mengeluarkan orang yang dikeluarkan dari neraka”. Kemudian Jabir menjelaskan tentang letak shirath dan bagaimana manusia melintasinya. Aku khawatir tidak menghafalnya semua penjelasannya. Hanya saja Jabir mengatakan bahwa ada orang-orang yang dikeluarkan dari neraka setelah mereka berada di dalamnya, dia mengatakan, “Lalu mereka dikeluarkan (dari neraka) seakan-akan mereka itu potongan kayu dan biji-bijian kering yang telah dijemur, lalu mereka dimasukkan ke sebuah sungai dari sungai-sungai surga dan mereka mereka dicuci di situ, lalu dikeluarkan lagi seakan-akan mereka itu kertas yang putih”. Lalu kami pun ruju’, kami mengatakan kepada sesama kami, “Celakalah kalian! Apakah kalian pikir Syaikh (yaitu Jabir bin ‘Abdillah) telah berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Dan kami pun ruju’, dan demi Allah, tidaklah ada yang keluar dari kelompok kami kecuali seorang lelaki saja. Atau kira-kira demikian yang dikatakan oleh Abu Nu’aim” (HR. Muslim)
Abu Nu’aim di sini adalah Al Fadhl bin Dukain, ia adalah salah seorang perawi hadits ini. Hadits ini menunjukkan bahwa kelompok yang disebutkan di dalamnya telah mengagumi pemikiran Khawarij, yaitu mengkafirkan pelaku dosa besar dan meyakini mereka kekal di neraka. Namun dengan bertemunya mereka dengan Jabir radhiyallahu’anhu dan dengan penjelasan beliau, akhirnya mereka kemudian mengikuti bimbingan Jabir kepada mereka lalu meninggalkan kebatilan yang mereka pahami. Mereka juga tidak jadi melancarkan pemberontakan yang sudah mereka rencanakan akan dilakukan setelah haji. Inilah faidah terbesar yang akan didapatkan oleh seorang Muslim jika ia ruju’ kepada ulama.
Bahaya ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama dan menyimpang dari kebenaran serta menyelisihi pendapat ahlussunnah wal jama’ah juga ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berikut ini, dari hadits Hudzaifah radhiyallahu’anhu,
إنَّ أخوفَ ما أخاف عليكم رجل قرأ القرآن، حتى إذا رُئيت بهجته عليه وكان ردءاً للإسلام، انسلخ منه ونبذه وراء ظهره، وسعى على جاره بالسيف ورماه بالشرك، قلت: يا نبيَّ الله! أيُّهما أولى بالشرك: الرامي أو المرمي؟ قال: بل الرامي
Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah orang yang membaca Al-Qur’an, yaitu ketika telah terlihat cahaya dalam dirinya dan menjadi benteng bagi Islam, ia pun berlepas diri dari Al Qur’an dan membuangnya di belakang punggungnya. Lalu ia berusaha memerangi tetangganya dengan pedang dan ia menuduh tetangganya itu telah syirik. Aku (Hudzaifah) berkata: ‘Wahai Nabi Allah, (dalam keadaan ini) siapakah yang berbuat syirik, apakah yang menuduh atau yang tertuduh?’. Beliau bersabda: ‘yang menuduh’” (HR. Al-Bukhari dalam At-Tarikh, Abu Ya’la, Ibnu Hibban dan Al-Bazzar, lihat Silsilah Ash Shahihah karya Al-Albani no. 3201).
Masih belianya usia, merupakan sumber buruknya pemahaman. Ini ditunjukkan oleh hadits yang di riwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya (4495) dengan sanadnya dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya bahwa ia berkata:
قلت لعائشة زوج النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم وأنا يومئذ حديث السنِّ: أرأيتِ قول الله تبارك وتعالى: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا} ، فما أرى على أحد شيئاً أن لا يطوَّف بهما، فقالت عائشة: كلاَّ! لو كانت كما تقول كانت: فلا جناح عليه أن لا يطوَّف بهما، إنَّما أنزلت هذه الآية في الأنصار، كانوا يُهلُّون لِمناة، وكانت مناة حذو قديد، وكانوا يتحرَّجون أن يطوَّفوا بين الصفا والمروة، فلمَّا جاء الإسلام سألوا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك، فأنزل الله  {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا
Aku berkata kepada Aisyah istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan aku ketika itu masih berumur muda: Apa pendapatmu tentang firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah termasuk syi’ar-syi’ar Allah, maka barangsiapa yang melakukan haji ke Ka’bah atau Umrah, maka tidak ada dosa baginya untuk thawaf pada keduanya”. Maka aku berpendapat bahwa tidak mengapa seseorang tidak melakukan thawaf antara Shafa dan Marwah?. Aisyah berkata: Tidak, andaikan seperti yang engkau katakan maka ayatnya akan berbunyi, “Maka tidak ada dosa baginya untuk ‘tidak’ thawaf pada keduanya”. Hanyalah ayat ini turun ada sebabnya, yaitu tentang kaum Anshar, dulu mereka berihram untuk Manat, dan Manat terletak di Qudaid. Dahulu mereka merasa berdosa untuk melakukan thawaf antara Shafa dan Marwah. Ketika datang Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang itu, lalu Allah menurunkan ayat, “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah termasuk syi’ar-syi’ar Allah, maka barangsiapa yang melakukan haji ke Ka’bah atau Umrah, maka tidak ada dosa baginya untuk thawaf pada keduanya”” (HR. Al Bukhari)
‘Urwah bin Az-Zubair termasuk orang yang utama dari kalangan tabi’in, salah seorang dari 7 fuqoha Madinah di masa tabi’in. Beliau telah menyiapkan ‘udzur-nya pada kesalahan pemahaman beliau, yaitu usia beliau yang masih muda ketika bertanya pada Aisyah. Maka jelaslah dari sini bahwa belianya usia meupakan sumber buruknya pemahaman dan bahwa kembali kepada ulama adalah sumber kebaikan dan keselamatan. Dalam Shahih Al Bukhari (7152) dari Jundab bin Abdillah, ia berkata:
إنَّ أوَّل ما ينتن من الإنسان بطنُه، فمَن استطاع أن لا يأكل إلاَّ طيِّباً فليفعل، ومَن استطاع أن لا يُحال بينه وبين الجنَّة بملء كفٍّ من دم هراقه فليفعل
Sesungguhnya bagian tubuh manusia yang pertama kali membusuk adalah perutnya, maka siapa yang mampu untuk tidak makan kecuali dari yang baik hendaknya ia lakukan. Barangsiapa yang mampu untuk tidak dihalangi antara dirinya dan surga dengan setangkup darah yang ia tumpahkan, hendaknya ia lakukan” (HR. Al Bukhari)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (13/130) : “Diriwayatkan juga secara marfu’ oleh Ath-Thabrani dari jalan Ismail bin Muslim, dari Al Hasan, dari Jundab dengan lafadz: kalian tahu bahwa aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
تعلمون أنِّي سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:  لا يحولنَّ بين أحدكم وبين الجنَّة وهو يراها ملءُ كفِّ دم من مسلم أهراقه بغير حلِّه
‘Janganlah terhalangi sampai salah seorang dari kalian dengan surga karena setangkup darah seorang muslim yang ia tumpahkan tanpa alasan yang benar, padahal ia sudah melihat surga’
Hadits ini walaupun tidak secara tegas marfu’ kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam namun dihukumi marfu’ karena tidak mungkin dikatakan berdasarkan pendapat. Sebab di dalamnya ada ancaman yang keras terhadap dosa membunuh seorang muslim tanpa hak” [selesai perkataan Ibnu Hajar].
Sebagian hadits-hadits dan atsar-atsar ini telah aku sebutkan dalam tulisanku berjudul Biayyi ‘Aqlin wa Diinin Yakuunut Tafjiir wat Tadmiir Jihaadan. Di dalamnya juga terdapat banyak hadits dan atsar yang menjelaskan haramnya bunuh diri dan haramnya membunuh orang lain tanpa hak. Tulisan ini telah dicetak secara tersendiri pada tahun 1424 H, dan dicetak pada tahun 1428 H bersama tulisan lain yang berjudul Badzalun Nush-hi wat Tadzkiir li Baqaayal Maftuuniin bit Takfiir wat Tafjiir yang termasuk dalam Majmu’ Kutub war Rasail milikku (6/225/276).
Dan kepada para pemuda yang sudah ikut-ikutan mendukung ISIS ini, hendaklah mereka ruju‘ dan kembali kepada jalan yang benar. Dan jangan terfikir sama sekali untuk bergabung bersama mereka, yang akan menyebabkan kalian keluar dari kehidupan ini lewat bom bunuh diri yang mereka pakaikan atau disembelih dengan golok-golok yang sudah jadi ciri khas kelompok ini. Dan (kepada para pemuda Saudi) hendaknya mereka tetap mendengar dan taat kepada pemerintah Arab Saudi yang mereka hidup di bawah kekuasaannya. Demikian pula bapak-bapak dan kakek-kakek juga mereka hidup di negeri ini dalam keadaan aman dan damai. Sungguh negeri ini adalah negeri yang terbaik di dunia ini, dengan segala kekurangannya. Dan diantara sebab kekurangan tersebut fitnah (musibah) para pengikut budaya Barat di negeri ini yang terengah-engah dalam taqlid terhadap negeri Barat dalam perkara yang mengandung mudharat.
Aku memohon kepada Allah ‘Azza Wa Jalla agar Ia senantiasa memperbaiki kondisi kaum muslimin di manapun berada. Dan semoga Allah memberi hidayah kepada para pemuda kaum Muslimin baik laki-laki maupun wanita kepada setiap kebaikan, semoga Allah menjaga negeri Al Haramain baik pemerintah maupun masyarakatnya dari setiap kejelekan, semoga Allah memberi taufiq kepada setiap kebaikan dan melindungi dari kejahatan orang-orang jahat dan tipu daya orang-orang fajir. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه.
Penerjemah: tim penerjemah Muslim.Or.Id

Baca Selengkapnya

9 Mei 2014

Praktek Keagamaan Di Saudi Arabia Dan Fakta Yang Dirasakan Masyarakat Di sana

Oleh
Ustadz Abdullah Roy M.A


Masyarakat dunia bisa dipastikan mengetahui adanya Negara Saudi Arabia yang terletak di kawasan yang dikenal dengan Timur Tengah, dan mengenalnya sebagai satu-satunya negara yang menerapkan dan menetapkan Islam sebagai agama resmi negara. Tetapi sejauh mana pengetahuan masyarakat dunia selama ini terutama lantaran penerapan Islam? Berikut adalah catatan singkat yang dirasakan dan dilihat secara langsung, yang tentu tak terlepas dengan praktek keagamaan di Saudi Arabia. Dan ini merupakan sebagian kecil dari praktek tersebut. Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk mengambil pelajaran yang baik dari yang kita lihat di Negara Saudi Arabia ini.

1. Pendidikan
Kerajaan Saudi Arabia memisahkan antara sekolah laki-laki dan wanita sejak tingkat (SD). Yang demikian supaya anak-anak terbiasa dengan adab Islam dalam bergaul dengan lawan jenis. Siswi, sejak SD tidak dibolehkan memakai rok pendek. Siswi, dari kelas 1 sampai 3 SD masih diberi kelonggaran oleh sekolah dan keluarga untuk tidak memakai kerudung. Tetapi kalau sudah sampai kelas 4 dan kelihatan sudah besar dan bisa menimbulkan godaan maka sudah dibiasakan memakai kerudung ketika ke sekolah, meski pada asalnya tidak wajib sampai dia baligh. Berbeda jika Siswi sudah memasuki bangku setingkat SMP, ia sudah diwajibkan memakai cadar ketika sekolah. Siswi diajar guru wanita, sedangkan siswa diajar oleh guru laki-laki. Murid-murid dari TK dan SD sudah dibiasakan membaca dzikir pagi yang disyari’atkan ketika awal belajar.

Kurikulum sekolah di Saudi Arabia juga penuh dengan nuansa Islami. Hafalan al-Qur’an merupakan muatan tetap dari sejak TK sampai kuliah. Anak yang lulus SD minimal telah menghafal 2 juz dari belakang (juz 29 dan juz 30). Pelajaran agama dipisahkan dari hafalan al-Qur’an. Anak-anak sejak TK sudah diajarkan tiga landasan utama, yaitu: mengenal Allah, mengenal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenal agama, tiga pertanyaan yang kelak kita ditanya tentangnya.

Pelajaran lainnya, seperti IPA, IPS, Matematika dan lain-lain tidak jarang materinya dikaitkan dengan agama. Misalnya, bagaimana mengenal Allah dengan melihat kekuasaannya di alam semesta, yang menunjukkan bahwa ilmu-ilmu tersebut tidak bertentangan dengan agama.
Di saudi terdapat sekolah SD yang memiliki prioritas al-Qur’an lebih daripada SD lainnya. Menerapkan jam hafalan lebih banyak. Dan SD seperti ini menjadi rebutan banyak orang. Setiap tahunnya, murid-murid SD ini mendapat beasiswa dari kerajaan.

2. Kesehatan
Di saudi Arabia antara pasien laki-laki dan wanita dipisahkan. Demikian juga dokter laki-laki untuk laki-laki dan dokter wanita untuk wanita kecuali dalam beberapa keadaan darurat, atau keterbatasan tenaga medis. Sering ditemui saat menunggu pasien, para dokter di kamar-kamar praktek mereka membaca al-Qur’an. Komputer mereka terisi dengna murattal. Semuanya itu untuk memanfaatkan waktu supaya tidak terbuang sia-sia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Dan nikmat yang manusia banyak terlena di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang. [HR. Al-Bukhari]

Ada di antara dokter-dokter itu yang hafal al-Qur’an bahkan memiliki sanad al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain. Pagi bekerja sebagai dokter dan sore hari mengajar al-Qur’an di masjid. Tidak jarang mereka menasihati pasien untuk bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak bertawakkal kepada dokter atau obat. Mereka memahami bahwa dokter dan obat hanya sebab dan Allah Azza wa Jalla yang memberikan kesembuhan. Apabila kedatangan pasien anak kecil, terkadang anak-anak itu ditanya tentang hafalan al-Qur’annya sudah sampai mana.

Para dokter wanita memakai cadar adalah sesuatu yang biasa. Demikian pula dokter berjenggot tebal. Ketika shalat mereka menunaikan shalat berjama’ah kecuali dalam keadaan darurat yang mengharuskan keberadaannya bersama pasien.

3. Sosial
Orang-orang kaya di Saudi Arabia menyadari jika di dalam harta mereka terdapat hak orang lain. Banyak yayasan sosial yang berdiri untuk menjadi jembatan antara orang kaya dengan orang miskin dan yang membutuhkan, seperti pembagian zakat harta, sembako, alat-alat dan perkakas rumah tangga.

Orang-orang miskin dan membutuhkan yang mendaftar dan terpenuhi syarat-syaratnya akan mendapatkan kesempatan menerima bantuan. Banyak diantara orang-orang kaya tersebut yang mewaqafkan bangunan untuk tempat tinggal, mewaqafkan masjid, dan lain-lain. Mereka berlomba menginfakkan hartanya di jalan Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. [al-Baqarah/2:261]

Ketika Ramadhan tiba semakin terlihat kedermawanan mereka. Mulia dari berbuka puasa, membebaskan orang yang dipenjara karena terlilit hutang, membagikan pakaian untuk lebaran, shadaqah, dan lain-lain. Oleh karena itu, orang-orang miskin di Saudi tidak iri dengan orang-orang kaya. Dan orang kayapun tidak menghina si miskin. Masing-masing melaksanakan kewajibannya.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُوْنُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ

Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau sangat dermawan ketika Ramadhan saat ditemui Jibril. [Muttafaqun ‘alaih].

4. Keamanan
Hal yang sangat dirasakan di Negara Saudi Arabia ini adalah nikmat keamanan. Seseorang tidak takut melakukan perjalanan jauh sekeluarga pada malam hari kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Terminal-terminalnya jangan dibayangkan seperti di negara yang lain, yang sering terjadi tindak kriminal. Mobil-mobil pribadi di Saudi tidak perlu disimpan rapat-rapat di garasi. Pada malam hari barang-barang dagangan milik pedagang kaki lima di sekitar Masjid Nabawi dibiarkan tergeletak saja di luar dengan ditutup kain sampai pagi tanpa ada yang mengambilnya.

Al-hamdulillah, semua ini merupakan nikmat dari Allah karena mereka mau menerapkan syariat Islam. Masyarakat di Saudi ditanamkan rasa takut terhadap hari pembalasan, yang sedikit banyak mempengaruhi perilaku mereka sehari-hari.

5. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Sepengetahuan penulis, Negara Saudi Arabia adalah satu-satunya negara yang memiliki polisi agama resmi yang tergabung dalam Haiah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Kedudukan mereka sejajar dengan polisi lain, dan berada di bawah Kementrian Dalam Negeri.

Haiah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar ini jangan disamakan dengan ormas yang ada di negara kita (Indonesia), karena Haiah di Saudi Arabia adalah bagian dari aparat negara. Mereka berstatus pegawai negeri, dan diberi kewenangan yang terbatas. Mereka tidak berseragam seperti angkatan lain, tetapi mereka lebih disegani daripada polisi keamanan.

Tugas polisi agama ini memberantas kemungkaran, baik dalam bidang aqidah, seperti pemberantasan tukang sihir, dukun dan lain-lain, maupun dalam bidang akhlak, seperti pemberantasan pacaran, minuman keras dan sebagainya. Disamping itu juga menerbitkan penegakan syiar-syiar Islam, seperti shalat berjamaah. Mereka melakukan patroli menjelang shalat untuk mengajak manusia mendirikan shalat berjamaah dan menghentikan kegiatan lain, seperti berdagang di toko-toko, pasar-pasar, pom bensin ataupun tempat lainnya. Begitu pula tempat-tempat atau acara-acara yang diperkirakan digunakan untuk bermaksiat akan dikirim pasukan dari pihak Haiah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, dan bagi warga yang melanggarnya akan dikenakan denda. Inilah yang membuat kokoh negara minyak ini.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada diantara kalian yang mengajak kepada kebaikan dan memerintah kepada perbuatan baik, dan melarang dari kemungkaran, dan merekalah orang-orang yang beruntung. [Ali ‘Imran/3:104].

6. Ditegakkan Hukum Islam
Di Saudi Arabia, orang yang membunuh setelah melalui proses peradilan yang syar’i, akan mendapatkan qishash (pembalasan) bunuh –tentunya- dengan cara yang disyari’atkan. Yaitu dipenggal lehernya dengan pedang di hadapan orang banyak. Biasanya, sebelum dihukum mati, orang yang mendapat qishash ini dinasihati untuk bertaubat dan diingatkan tentang keutamaan akhirat di atas dunia. Adapun pelajaran bagi yang lain supaya tidak mudah menumpahkan darah manusia.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179].

7. Saling Mendoakan
Diantara kebiasaan baik orang-orang Saudi Arabia adalah bila bertemu mereka akan saling mendoakan antara yang satu dengan lainnya. Seperti mendoakan agar senantiasa diberi keselamatan, keberkahan, rahmat dari Allah, dan lainnya. Kebiasaan saling mendoakan ini tentu membawa pengaruh terhadap keharmonisan hubungan diantara masyarakat.

8. Tentara dan Polisi Berjenggot

Di Kerajaan Saudi Arabia, kita akan terbiasa mendapatkan tentara dan polisi itu berjenggot, karena membiarkan jenggot bagi laki-laki merupakan kewajiban, dan ini umum baik yang polisi ataupun lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَحْفُوْا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوْا اللِّحَى

Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot. [HR al-Bukhari, dari Abdullah bin ‘Umar].

Demikian pula banyak diantara mereka yang memakai celana di atas mata kaki untuk mengamalkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النّارِ

Apa yang ada di bawah kedua mata kaki dari sarung ada di neraka.[HR al-Bukhari]

Banyak polisi-polisi yang berhenti mampir ke masjid-masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Ini semua tidak mengganggu tugas mereka. Beberapa waktu bahkan diadakan perlombaan hafalan al-Qur’an untuk kalangan polisi dan tentara.

9. Supermarket
Apabila kita memasuki supermarket di Saudi Arabia maka kita tidak akan mendengarkan lagu-lagu di putar keras-keras. Kebanyakan tidak ada suara, atau terkadang yang diputar adalah murattal al-Qur’an. Lima belas atau tiga puluh menit sebelum waktu shalat tiba, para pembeli sudah diminta keluar meninggalkan supermarket untuk mengerjakan shalat.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Maka tegakkanlah shalat, sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang sudah ditentukan waktunya. [an Nisa’/4:103].

10. Al-Qur’an
Perhatian pemerintah Saudi terhadap al-Qur’an sangatlah besar. Mulai dari percetakan khusus al-Qur’an yang di dalamnya bergabung para Ulama dan Syaikh-Syaikh yang ahli dalam bidang al-Qur’an, penulisannya, cara membacanya, tafsirnya, dan lain-lain.

Tahfizh al-Qur’an juga semarak. Hampir setiap kampung terdapat masjid yang mengadakan halaqah tahfizh al-Qur’an, biasanya untuk anak laki-laki. Untuk laki-laki dewasa juga ada meski tidak sebanyak halaqah tahfizh anak-anak. Sedangkan untuk tahfizh wanita, baik anak-anak maupun dewasa diadakan di sekolah khusus tertutup bukan di masjid, kecuali di masjid besar seperti Masjid Nabawi, karena memang tempatnya memungkinkan.

Tahfizh al-Qur’an ini biasanya dilaksanakan setelah Ashar, karena waktu pagi untuk belajar di sekolah. Dan yang tidak sekolah pada pagi hari banyak diantara mereka yang memilih tahfizh pagi hari.

Di Saudi juga ada lembaga yang kegiatannya terfokus pada tahfizh bagi orang lanjut usia. Banyak diantara orang tua yang hafal al-Qur’an padahal umurnya sudah lebih dari 50 tahun.

11. Shalat Istisqa’
Ketika lama tidak hujan, biasanya ada perintah langsung dari pemerintah kepada masjid-masjid di seluruh penjuru negeri untuk mendirikan shalat Istisqa’, yaitu shalat minta hujan untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

12. Shalat Jama’ah
Begitu adzan berkumandang, kantor-kantor, toko-toko dan pusat perbelanjaan segera tutup. Mobil patroli Badan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar mulai bergerak memasuki jalan dan gang di perkampungan. Dengan pengeras suara di tangan, mereka mengajak orang ke masjid, mengingatkan mereka yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka, da menindak toko atau kantor yang belum tutup. Surat ijin usaha mereka bisa dicabut karena kesalahan itu. Kami tidak tahu, apakah ada pemandangan seperti ini di negeri lain? Para Ulama Saudi memang pada umumnya memfatwakan wajibnya shalat jamaah.

Di kampung tempat penulis tinggal yang tidak begitu padat, masjid memiliki tujuh shaf yang masing-masing bisa diisi sekitar tiga puluh orang. Saat shalat Maghrib dan Isya, seluruh shaf ini biasanya terisi penuh. Sedangkan di waktu shalat yang lain, biasanya terisi lebih dari setengah. Seorang jamah umrah yang pernah berkunjung mengatakan bahwa suasana shalat jamaah di sini seperti suasana shalat Ied di kampungnya. Mungkin di sedang berhiperbola, tapi bisa jadi juga dia benar.

13. Keamanan
Tidak berlebihan jika kami mengatakan bahwa Arab Saudi adalah salah satu negeri paling aman di dunia saat ini. Dahulu jalur haji merupakan jalur maut karena hadangan para perampok. Saat itu perjalanan haji adalah perjalanan yang menakutkan, sehingga saat berpamitan kepada handai tolan, mereka dilepas dengan kekhawatiran tidak akan bertemu lagi. Kondisi itu berubah setelah Raja Abdul Aziz –pendiri dinasti Saudi ketiga- menjadi penguasa Jazirah Arab. Beliau menugaskan setiap kabilah untuk menjaga keamanan wilayah masing-masing. Jika sampai ada jamaah haji yangdirampok atau dibunuh di suatu wilayah itu. Sejak saat itu, jamaah haji bisa tenang dalam menjalani perjalanan ibadah mereka.

Pada masa sekarang, hampir-hampir tidak ada keluarga di Saudi yang tidak memiliki mobil, termasuk golongan miskin sekalipun. Bahkan hampir setiap pria dewasa memiliki mobil sendiri. Namun sebagian besar rumah tidak memiliki garasi. Mobil-mobil itu hanya mereka parkir di pinggir jalan. Begitu sepanjang waktu tanpa ada kekhawatiran hilang. Berarti tidak ada pencurian di sana ? Ada, tapi jarang, padahal kesempatan untuk berbuat jahat begitu besar.

Seorang kawan pernah memasuki terminal bus kota Jeddah –kota terbesar kedua- menjelang Shubuh dengan membawa tujuh koli bagasi sendirian. Namun ternyata dia tidak menemui gangguan apapun. Saat waktu shalat Shubuh tiba, dia pergi ke mushalla terminal dan meninggalkan barang sebanyak itu begitu saja di pinggir jalan dan barang itu tidak hilang. Bayangkan jika hal serupa terjadi di Jakarta atau Surabaya!

Bahkan saat banyak negara Timur Tengah yang lain dilanda gejolak dalam beberapa tahun belakangan, kemanan Arab Saudi tetap stabil, dan semoga terus demikian. Negeri ini seolah-olah merupakan negeri yang berbeda dengan lainnya. Saat pemberontakan di negara-negara tetangga di kobarkan dari mimbar-mimbar masjid, para khatib Arab Saudi serentak membela dan mendoakan kebaikan bagi Raja Abdullah dalam setiap mimbar Jumat.
Paparan ini mengingatkan kita akan janji Allah Ta’ala untuk para penegak tauhid, seperti dalam ayat-ayat berikut:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap mengibadahi-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. [an-Nur/24:55]

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. [al-An’am/6:82]

PENUTUP
Itulah sebagian dari apa yang kita lihat di negara Saudi Arabia. Kita tidak pungkiri bahwa kekurangan masih ada di sana-sini. Namun tidak diragukan juga bahwa dakwah tauhid yang dirintis syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah membuahkan hasil yang manis. Mereka yang ingin menegakkan syariat Islam hendaknya mengambil teladan dari perjalanan dakwah beliau. Kesempurnaan hanya milik Allah Ta’ala. Kawajiban kita sebagai hamba adalah mengadakan perbaikan semampu kita. Semoga Allah Ta’ala mengampuni dosa kita semua.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Baca Selengkapnya

5 Mei 2014

Download Kitab Ulama



  1. Abdurrahman bin Abi Haatim
  2. Abdurrahmaan Bin Abi Haatim Bag.2
  3. Abdurrazzaaq Ash Shan`aany
  4. Abul Hasan Saalim bin AL Hasan bin Ibraahiim Al Khaazimy
  5. Ad Diraasaat Al Kitruniyah
  6. Ad Diraasaat Al Kitruniyah Bag.2
  7. Adz Dzahaby
  8. Al `Utsaimiin Al `Utsaimin Bag.2
  9. Al Albani Bag.1
  10. Al Albani Bag.2
  11. Al Baaji Al Andalusi
  12. Al Baghawi
  13. Al Baiquuniyyah
  14. AL Imaam Abu Dawuud Assijistaany
  15. Al Imaam Ahmad Ibn hanbal
  16. Al Imaam Al Bukhaary
  17. Al Imaam Al Bukhaary Bag.2
  18. Al Imaam An Nasaa`i
  19. Al Imaam Malik
  20. Al Imaam Muslim
  21. Al Imaam Muslim Bag.2
  22. AL Khathiib Al Baghdaady
  23. `Ali Hasan `Abdul Hamid Al Halabi
  24. An Nawaawy
  25. As Sa`diy As Sa`diy bag.2
  26. As Suyuuthy
  27. Asy Syaukaany
  28. Ath Thabary
  29. Ath Thahhaawy
  30. Az Zurqaany
  31. Ibnu Abdil Bar
  32. Ibnu Hajar Al Atsqalaany Bag.1
  33. Ibnu Hazm Adh Dhaahiry
  34. Ibnu Qudaamah Al Maqdisi
  35. ibnu Siiriin
  36. Ibnu Taymiyyah
  37. Ibnul Atsiir
  38. Ibnul Jauzy
  39. Ibnul Qayyiim
  40. Ibnul Qiyaal
  41. Kitaab
  42. Laila Binti Abdurrahmaan Al Juraibah
  43. Muhammad Bin Abdul Wahhaab
  44. Mujaahid
  45. Safaarainy
  46. Sufyaan Ats Tsaury
  47. Ibnu Abid Duniya
  48. Ibnu Abi Daawuud
  49. Ibnu Rajab Al Hambaly
  50. Ibnu Syaahiin Abuu Hafsh Umar bin Ahmad
  51. Abuu Ahmad Abdullah Bin `Adiy Bin Abdullah Bin Muhammad
  52. Abuu IShaaq Hisyaam Bin Mahdiy AL Kishaashi
  53. Abuul Barkaat Muhammad Bin Ahmad Bin Yuusuf
  54. Abuul Barraa` Al Kinaaniy
  55. Abul Haarits Muhammad Bin Ibrahiim Khrrj As Silafy Al Jazaa`iry
  56. Abul Hajjaaj Yuusuf bin Zakiy Abdurrahmaan Al Miziy
  57. Abul Hasan `Aliy Bin Al Ja`d Bin `Abiid
  58. Abul Hasan `Aliy Bin Abdillah Bin Ja`far
  59. Abul Hasan `Aliy Bin Umar Bin Ahmad Bin Mahdiy
  60. Abul Hasan Nuuruddiin Bin Abdul HaadiyAs Sindiy
  61. Abul Fatah Muhammad Bin Al Husain Al Muushally
  62. Abul Fida`Ismaa`iil Bin katsiir Al Qurasyi
  63. Abul Fadhl Ahmad Bin `Aliy Bin Hajar Al `Asqalaaniy (Al Haafidz Ibnu Hajar) Bag.2
  64. Abul Fadhl Abdurrahmaan Bin Abi Bakr As Suyuuthy
  65. Abul Qaasim Hamzah Bin Muhammad Bin `Aliy Bin Al`Abbaas.
  66. Abul Qaasim Sulaimaan Bin Ahmad Bin Ayyuub Ath Thabraany
  67. Abul Mahaasin Muhammad Bin `Aliy Bin Hasan
  68. Abul Mundzir Ahmad Bin `Abbaas As Silafy
  69. Abul Waliy Sulaimaan Bin Khalaf Bin Sa`d Al Baaji
  70. Abu Anas Al Faayid Al `Auniy Ar Rasyiidy Al Atsary
  71. Abu Bakr Ahmad Bin Al Husain Bin `Aliy Bin Muusa Al Baihaqiy
  72. Abuu Bakr Ahmad Bin `Aliy Bin Tsaabit
  73. Abuu Bakr Ahmad Bin `Amruu Bin Adh Dhahhaak
  74. Abuu Juwairiyyah
  75. Abuu Haatim Muhammad Bin Hibbaan Bin Ahmad (Ibnu Hibbaan)
  76. Abuu hafshah
  77. Abuu Daawuud Sulaimaan Daawuud Ath Thayaalisy
  78. Abuu Rabbaan Ath Thaa`ify
  79. Abuu Zakariyya Yahya Bin Abdulwahhaab Bin Manduh Al AshBahaany
  80. Abuu Zakariyya Yahyaa Bin Ma`ien
  81. Abuu `Abdil A`laa Khaalid Bin Muhammad Bin `Utsmaan AL Mashry
  82. Abuu `Abdis Salaam Hasan Bin Qaasim Al Hasany Ar Riimy As Silafy
  83. Abuu `Abdillah Al Atsary
  84. Abuu `Abdillah Al Yamany
  85. Abuu `Abdillah Khaalid Bin Muhammad Al Ghirbaany
  86. Abuu `Abdillah `Azzaam Asy Syimary
  87. Abuu `Abdillah Muhammad Bin Idriis Asy Syaafi`y (Al Imaam Asy Syaafi`ie)
  88. Abuu `Ablillah Hummaam Bin Muhammad AL Jazaa`iry
  89. Abuu `Abdirrahmaan Badr Bin `Aliy Bin Thaamy Al Utaiby
  90. Abuu `Abdirrahmaan Abdullah Bin AL Mubaarak (Ibnul Mubaarak)
  91. Abuu `Abdillah Muhammad Bin Yaziid Al Qazwainy
  92. Abuu` Abdillah Ahmad Al Ahmady
  93. Abuu `Abdillah AL Madany
  94. Abuu `Abdillah Muhammad Bin Ahmad (Adz Dzahaby Bag.2)
  95. Abuu `Abdillah Muhammad Bin Sa`d Bin Manii`
  96. Abuu `Abdillah Muhammad Bin `Abdillah Baa Jamaal Al Hadhramy
  97. Abuu `Ubaid Al Qaasim Bin Salaam
  98. Abuu `Utsmaan Ismaa`iil Bin `Abdirrahmaan Ash Shaabuuny
  99. Abuu `Umar Bin Hasan Al Ka`by
  100. Abuu `Amru Nuuruddiin Bin `Aliy Bin `Abdillah Bin `Ar`ar
  101. Abuu `Iisaa Muhammad Bin `Iisaa Bin Saurah (At Tirmidzi)
  102. Abuu Muhammad Al Andalusy AL Qahthaany
  103. Abuu Muhammad `abduLlah Bin `Aliy Bin Al Jaaruud
  104. ABuu Muhammad `Abd bin Humaid Bin Nashr
  105. ABuu Muhammad `Abdullah Bin `Abdurrahmaan Ad Daarimy
  106. Abuu Muhammad `Abdullah Bin Muslim Bin Qutaibah
  107. Abuu Muhammad `Izzuddiin As Silafy
  108. Abuu Hurairah Ibrahim Bin Ahmad Al Atsary
  109. Abuu Sindi Muhammad
  110. Abuu Ya`laa Ahmad Bin `Aliy Bin Al Mutsani
  111. Abuu `Abdirrahmaan Muqbil Bin Haadi AL Wad`i (Asy Syaikh Muqbil)
  112. Abuu `Abdillah Al Yamani
  113. Abii Ishaaq Hisyaam Mahdi Al Kishaash
  114. Abiil Baqaa`Abdullah Bin Al Husain Bin Abdillah Al`Akbary
  115. Abiil Hasan Al Atsary `Alwiy Bin Umar Bin Mahmuud
  116. Abiil Hasan Al Asy`ari
  117. Abiil Hasan Bin `Aliy Bin Khalf Al Barbahaary
  118. Abiil Hasan Abdul `Aziz Bin Yahya Bin `Abdul`aziz Al Kinaani Al Makki
  119. Abiil `Abbas Ahmad bin Abii Ahmad Ath Thabarii Al Baghdaadi Asy Syaafi`i
  120. Abiil Faraj Ibnu Rajab Al Hanbali
  121. Abii bakr Ahmad Bin Ibrahim Al Ismaa`aily
  122. Abii Bakr `Abdullah Bin Zubair Al Humaidy
  123. Abii Bakr `Abdullah Bin Muhammad Bin Abii Syaibah
  124. Abii Bakr Muhammad Bin Al Husain Fanjauyah
  125. Abii Bakr Muhammad Bin Al Husain AL Aajurry
  126. Abii Tarkiy Muhammad Ahmad Al FiiFii
  127. Abii Hafsh Taajuddiin Al Faakahaany
  128. Abii `Abdirrahmaan Fauzy Bin Abdullah AL Atsary
  129. Abii `Abdissalaam Hasan Bin Qaasim Ar Riimiy
  130. Abii `Abdil`Aziiz `Utsmaan Bin Al A`miiriy
  131. Abii `Abdillah Humuud Bin Qaa`id Al Bi`daaniy
  132. Abii `Abdillah Syukaib As Silafy
  133. Abii `Abdillah Naashir As Silyathiy
  134. Abii `Aliy Al Hasan Bin Ahmad Bin `Abdul Ghaffaar Al Faarisiy An Nahwiy
  135. Abii `Amruu `Abdilkariim Bin Ahmad Al `UmariyAl Hajuuriy
  136. Abii Muusaa `Abdirrazzaaq Bin Muusaa ath Thubni Al Jazaa`iriy
  137. Abii Nuur Bin Hasan Bin Muhammad Al Kurdiy
  138. Abii `Umar Usaamah Bin `Athaayaa Bin `Utsmaan Al `Utaibiy
  139. Ihsaan Ilahiy Dzahiir
  140. Ahmad Al Ahmadiy
  141. Ahmad Bin Shalih Az Zharaaniy
  142. Ahmad Bin Yahyaa An Najmiy
  143. Ahmad Umar Baazmuul
  144. Ahmad Wamahmuud Syaakir
  145. Ishaaq Bin Asy Syaikhil Imaam`Abdirrahman Bin Hasan
  146. Ishaaq Bin ibrahiim Bin Makhlad Bin Raahuuyah
  147. Islaa`iil bin Muhammad Al Anshaariy
  148. Al Haarits bin Abii Usaamah
  149. Al Haakim
  150. Asy Syaikh ibn Baaz
  151. Al Qaadhiy Abii Bakr Al `Arabiy
  152. Al Qaamuus Al Muhiith (Fairuuz `Abaadii)
  153. Al Lajnah Ad Daa`imah Lil Buhuuts Al `Ilmiyyah Wal Iftaa`
  154. Al Laits Bin Sa`ad bin Abdurrahmaan AL Fahmiy Al MAshriy
  155. An Nawawiy
  156. Ummul Laits
  157. Ummu Ayyuub Nuurah Hasan Ghaawiy
  158. Ummu Muusaa Al Jazaa`iriy
  159. Imaam Ar Rahbiy
  160. Bandar Bin Nayyif AL `Atibiy
  161. Tarhiib Bin Rabii`aanBin Haadiy Ad Duusriy
  162. Taqiyyuddiin Ahmad Bin `Aliy Al Maqriiziy
  163. Jamaal Bin Fariihaan AL Haaritsiy
  164. Haatim Bin `Aarif AL `Auniy
  165. Hasan Bin Qaasim Al Hasaniy Ar Riimiy As Silafy
  166. Hamdan Bin Ibraahim Al `Utsmaani
  167. Hamdan Bin Naashir Bin Ma`mar
  168. Humuud Bin `Abdillah At Tuwaijiriy
  169. Khaalid Bin Dhahwiy Adzh Dzhafiiriy
  170. Khaalid Bin `Abdillah Bin Muhammad Al Mushlih
  171. Khaalid Bin `Aliy Bin Muhammad Al `Anbariy
  172. Khaalid Bin QaasimAr Raddaadiy
  173. Khaliifah Al Kiwaariy
  174. Raasyid Bin Husain AL `Abdulkariim
  175. Rabii` Bin Haadiy `Umair Al Madkhaliy
  176. Rahmatullah Bin Khaliilur Rahmaan Al Hindiy
  177. Zakariyya Bin Ghulaam Qaadir Al Baakistaaniy
  178. Zaid Bin Muhammad Bin Haadiy Al Madkhaliy
  179. Saalim AL `Ajmiy
  180. Saalim Bin `ied Al Hilali
  181. Sa`ad Bin `Abdirrahmaan Al Hushain
  182. Sa`ied Bin Sa`d Bin Nabhaan Al Hadhramiy
  183. Sulthaan Al `ied
  184. Sulthaan Bin Muhammad Bin Sibhaan
  185. Sulaiman Bin Sahmaan
  186. Sulaimaan Bin `Abdillah Bin Muhammad Bin `Abdul Wahhaab
  187. Samiir Al Mabhuh
  188. Syarh Abayaat Al Mufashshil Lisy Syariif
  189. Shaalih As Suhaimiy
  190. Shaalih Al Fauzaan
  191. Shaalih Bin `Abdul`aziiz Aalusy Syaikh
  192. Shalih Bin `Abdul`aziiz Bin `Utsmaan As Sindiy
  193. Shaalih Bin `Abdullah Al Bakriy
  194. `Aayid Asy Syamriy
  195. `Abdurrahmaan Bin Hasan Aalusy Syaikh
  196. `Abdurrahmaan Bin `Abdullah Aalu Ibrahiim
  197. `Abdurrahmaan Bin Yahyaa Al Ma`lamiy Al Yamaaniy
  198. `Abdurrazzaaq bin `Abdulmuhsin Al `Abbaad
  199. `Abdul`aziiz Ar Raajihiy
  200. `Abdul`aziiz muhammad As Salmaaniy
  201. `Abdul`aziiz Bin Rais Ar Raisiy
  202. `Abdul`aziiz Bin `Abdullah Bin Muhammad Aalusy Syaikh
  203. `Abdul`aziiz Bin Muhammad Bin `Aliy Al `Abd Al Lathiif
  204. `Abdul Lathiif Bin Muhammad Bin Abii Rabii`
  205. `Abdullah Bin Hamiid Al Falaasiy
  206. `Abdullah Bin Shaalih Al `Ubailaan
  207. `Abdullah Bin Muhammad Al Atsariy
  208. `Abdullah Bin Muhammad Ad Duwaisyiy
  209. `Abdullah Bin Muhammad Al Ghaniimaan
  210. `Abdullah Bin Muhammad Al Qarniy
  211. `Abdul Maalik bin Ahmad Ramadhaaniy Al Jazaa`iriy
  212. `Abdullah Aalu Muhammad
  213. `Abdullah As Silafiy
  214. `Abdulmuhsin Bin Hamd Al `Abbaad Al Badr
  215. `Abdussalaam Barjas
  216. `Ubaid Bin `Abdullah Bin Sulaimaan AL Jaabiriy
  217. `Utsmaan `Abdussalaam Nuuh
  218. `Ishaam Bin `Abdullah As Sinaaniy
  219. `Alaa`uddiin Muhammad Bin `aliy AL Yunainiy Al Ba`aliy Al Hanbaliy
  220. `Alwiy bin `Abdul Qaadir As Saffaaf
  221. `Aliy bin Sulaimaan Bina Muhammad Al Harbiy
  222. `Aliy Bin `Abdul `Aziiz Bin `Aliy As Syabil
  223. `Aliy Bin Muhammad Naashir Al faqiihiy
  224. `Aliy Bin Yahyaa Al Haddaadiy
  225. `Umar Bin `Aliy Al Bazzaar
  226. `Utsmaan Bin Syaikh `Aliy
  227. Faalih Bin Jabr At Tulai`ah
  228. Faalih Bin Naafi` Al Harbiy
  229. Maahir Bin Dzhaafir Al Qahthaany
  230. Muhammad Bin Ahmad Al Hafdzhy
  231. Muhammad Bin Ishaaq Bin Ibraahiim As Siraaji Ats TsaqafyAn Naisaabuury
  232. Muhammad Bin Al Amiir Ash Shan`aany
  233. Muhammad Bin Amaan Al Jaami
  234. Muhammad Bin Ja`far
  235. Muhammad Bin Sa`iid Al Qahthaany
  236. Muhammad Bin Saif Al `Ajmy
  237. Muhammad Bin `Abdurrahmaan Al Khumais
  238. Muhammad Bin `Abdul`aziiz Bin Maani`
  239. Muhammad Bin `Abdullah Al Imaam
  240. Muhammad Bin `Abdulwahhaab Al Washaaby Al `Abdaly
  241. Muhammad Bin `Umar Bin Saalim Baazmuul
  242. Muhammad Bin Mubaarak Al Haajiry
  243. Muhammad Bin Haadiy Al madkhaly
  244. Muhammad Khaliil Harraas
  245. Muhammad Maalallaah
  246. Muhammad Ma`ruuf Bin Mushthafa bin Ahmad An Nuudihi Asy Syahrazuury Al Barzanjy Asy Syaafi`y
  247. Malfy bin Naa`im Bin `Imraan Ash Shaa`idy
  248. Naashir Bin `aliy Al ghaamidy
  249. Naashir Bin `Aliy Bin Naashir Al Ghamidy
  250. Naashir Bin Muhammad Al Hamasy Aalu `Aashim Humam Bin Munabbih Ash Shan`aany
  251. Tarhiib Bin Rabii`aan Bin Haadiy Ad Duusiriy
  252. Yahyaa Bin `Aliy Al hajuuriy
  253. Al Haarits Bin ziidaan Al Maziidy
  254. `Abdul majid Ar Riimiy
  255. Zainal `Abidiin `Aliy Bin Al Husain
  256. Kumpulan Masyaikh
Sumber : http://samuderailmu.wordpress.com via alqiyamah.wordpress.com/kitab/
Baca Selengkapnya

30 April 2014

Adakah Puasa Bulan Rajab?

Pertanyaan:
Akhir-akhir ini, banyak orang yang berpuasa di awal bulan Rajab. Saya ingin bertanya, apakah ada tuntunannya dari Rasulullah puasa hanya di awal bulan Rajab atau hanya beberapa hari saja di bulan Rajab?
Hendra Irawan (**hendra@***.com)

Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Tidak terdapat amalan khusus terkait bulan Rajab, baik bentuknya shalat, puasa, zakat, maupun umrah. Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hadis yang menyebutkan amalan di bulan Rajab adalah hadis dhaif dan tertolak.
Ibnu Hajar mengatakan,
لم يرد في فضل شهر رجب ، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين ، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة ، وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ
 “Tidak terdapat riwayat yang sahih yang layak dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula riwayat yang shahih tentang puasa rajab, atau puasa di tanggal tertentu bulan Rajab, atau shalat tahajud di malam tertentu bulan rajab. Keterangan saya ini telah didahului oleh keterangan Imam Al-Hafidz Abu Ismail Al-Harawi.” (Tabyinul Ujub bi Ma Warada fi Fadli Rajab, hlm. 6)
Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibnu Rajab. Dalam karyanya yang mengupas tentang amalan sepanjang tahun, yang berjudul Lathaiful Ma’arif,  beliau menegaskan tidak ada shalat sunah khusus untuk bulan rajab,
لم يصح في شهر رجب صلاة مخصوصة تختص به و الأحاديث المروية في فضل صلاة الرغائب في أول ليلة جمعة من شهر رجب كذب و باطل لا تصح و هذه الصلاة بدعة عند جمهور العلماء
“Tidak terdapat dalil yang sahih tentang anjuran shalat tertentu di bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat Raghaib di malam Jumat pertama bulan Rajab adalah hadis dusta, batil, dan tidak sahih. Shalat Raghaib adalah bid’ah, menurut mayoritas ulama.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 213)
Terkait masalah puasa di bulan Rajab, Imam Ibnu Rajab juga menegaskan,
لم يصح في فضل صوم رجب بخصوصه شيء عن النبي صلى الله عليه و سلم و لا عن أصحابه و لكن روي عن أبي قلابة قال : في الجنة قصر لصوام رجب قال البيهقي : أبو قلابة من كبار التابعين لا يقول مثله إلا عن بلاغ و إنما ورد في صيام الأشهر الحرم كلها
“Tidak ada satu pun hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu Qilabah, bahwa beliau mengatakan, ‘Di surga terdapat istana untuk orang yang rajin berpuasa di bulan Rajab.’ Namun, riwayat ini bukan hadis. Imam Al-Baihaqi mengomentari keterangan Abu Qilabah, ‘Abu Qilabah termasuk tabi’in senior. Beliau tidak menyampaikan riwayat itu, melainkan hanya kabar tanpa sanad.’ Riwayat yang ada adalah riwayat yang menyebutkan anjuran puasa di bulan haram seluruhnya” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 213)
Keterangan Ibnu Rajab yang menganjurkan adanya puasa di bulan haram, ditunjukkan dalam hadis dari Mujibah Al-Bahiliyah dari bapaknya atau pamannya, Al-Bahily. Sahabat Al-Bahily ini mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah bertemu dan menyatakan masuk islam, beliau kemudian pulang kampungnya. Satu tahun kemudian, dia datang lagi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Ya Rasulullah, apakah anda masih mengenal saya.” Tanya Kahmas,
“Siapa anda?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Saya Al-Bahily, yang dulu pernah datang menemui anda setahun yang lalu.” Jawab sahabat
“Apa yang terjadi dengan anda, padahal dulu anda berbadan segar?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Saya tidak pernah makan, kecuali malam hari, sejak saya berpisah dengan anda.” Jawab sahabat.
Menyadari semangat sahabat ini untuk berpuasa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,
لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ، صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ، وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
Mengapa engkau menyiksa dirimu. Puasalah di bulan sabar (ramadhan), dan puasa sehari setiap bulan.
Namun Al-Bahily selalu meminta tambahan puasa sunah,
“Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan, “Saya masih kuat. Tambahkanlah!” “Dua hari setiap bulan.” Orang ini mengatakan, “Saya masih kuat. Tambahkanlah!” “Tiga hari setiap bulan.” Orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Sampai akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kalimat pungkasan,
صُمْ مِنَ الحُرُمِ وَاتْرُكْ، صُمْ مِنَ الحُرُمِ وَاتْرُكْ، صُمْ مِنَ الحُرُمِ وَاتْرُكْ
“Berpuasalah di bulan haram, lalu jangan puasa (kecuali ramadhan)…, Berpuasalah di bulan haram, lalu jangan puasa…, Berpuasalah di bulan haram, lalu jangan puasa.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Al-Baihaqi dan yang lainnya. Hadis ini dinilai sahih oleh sebagian ulama dan dinilai dhaif oleh ulama lainnya).
Bulan haram artinya bulan yang mulia. Allah memuliakan bulan ini dengan larangan berperang. Bulan haram, ada empat: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Puasa di Bulan Haram

Hadis Mujibah Al-Bahiliyah menceritakan anjuan untuk berpuasa di semua bulan haram, sebagaimana yang ditegaskan Ibnu Rajab. Itupun anjuran puasa ini sebagai pilihan terakhir ketika seseorang hendak memperbanyak puasa sunah, sebagaimana yang disarankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Al-Bahily. Karena itu, terlalu jauh ketika hadis ini dijadikan dalil anjuran puasa di bulan rajab secara khusus, sementara untuk bulan haram lainnya, kurang diperhatikan. Karena praktek yang dilakukan beberapa ulama, mereka berpuasa di seluruh bulan haram, tidak hanya bulan rajab. Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Rajab,
قد كان بعض السلف يصوم الأشهر الحرم كلها منهم ابن عمر و الحسن البصري و أبو اسحاق السبيعي و قال الثوري : الأشهر الحرم أحب إلي أن أصوم فيها
Beberapa ulama salaf melakukan puasa di semua bulan haram, di antaranya: Ibnu Umar, Hasan Al-Bashri, dan Abu Ishaq As-Subai’i. Imam Ats-Tsauri mengatakan, “Bulan-bulan haram, lebih aku cintai untuk dijadikan waktu berpuasa.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 213).

Para Sahabat Melarang Mengkhususkan Rajab untuk Puasa

Kebiasaan mengkhususkan puasa di bulan rajab telah ada di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Beberapa tabiin yang hidup di zaman Umar bahkan telah melakukannnya. Dengan demikian, kita bisa mengacu bagaimana sikap sahabat terhadap fenomena terkait kegiatan bulan rajab yang mereka jupai.
Berikut beberapa riwayat yang menyebutkan reaksi mereka terhadap puasa rajab. Riwayat ini kami ambil dari buku Lathaiful Ma’arif, satu buku khusus karya Ibnu Rajab, yang membahas tentang wadzifah (amalan sunah) sepanjang masa,
روي عن عمر رضي الله عنه : أنه كان يضرب أكف الرجال في صوم رجب حتى يضعوها في الطعام و يقول : ما رجب ؟ إن رجبا كان يعظمه أهل الجاهلية فلما كان الإسلام ترك
Diriwayatkan dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau memukul telapak tangan beberapa orang yang melakukan puasa rajab, sampai mereka meletakkan tangannya di makanan. Umar mengatakan, “Apa rajab? Sesungguhnnya rajab adalah bulan yang dulu diagungkan masyarakat jahiliyah. Setelah islam datang, ditinggalkan.”
Dalam riwayat yang lain,
كرِهَ أن يَكونَ صِيامُه سُنَّة
“Beliau benci ketika puasa rajab dijadikan sunah (kebiasaan).” (Lathaif Al-Ma’arif, 215).
Dalam riwayat yang lain, tentang sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu,
أنه رأى أهله قد اشتروا كيزانا للماء واستعدوا للصوم فقال : ما هذا ؟ فقالوا: رجب. فقال: أتريدون أن تشبهوه برمضان ؟ وكسر تلك الكيزان
Beliau melihat keluarganya telah membeli bejana untuk wadah air, yang mereka siapkan untuk puasa. Abu Bakrah bertanya: ‘Puasa apa ini?’ Mereka menjawab: ‘Puasa rajab’ Abu Bakrah menjawab, ‘Apakah kalian hendak menyamakan rajab dengan ramadhan?’ kemudian beliau memecah bejana-bejana itu. (Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 3/107, Ibn Rajab dalam Lathaif hlm. 215, Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 25/291, dan Al-Hafidz ibn Hajar dalam Tabyi Al-Ujb hlm. 35)
Ibnu Rajab juga menyebutkan beberapa riwayat lain dari beberapa sahabat lainnya, seperti Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, bahwa mereka membenci seseorang yang melakukan puasa rajab sebulan penuh.
Sikap mereka ini menunjukkan bahwa mereka memahami bulan rajab bukan bulan yang dianjurkan untuk dijadikan waktu berpuasa secara khusus. Karena kebiasaan itu sangat mungkin, tidak mereka alami di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesimpulan:
Kesimpulan dari keterangan di atas,
  1. Tidak dijumpai dalil khusus yang menyebutkan keutamaan bulan rajab.
  2. Tidak dijumpai dalil yang menyebutkan keutamaan puasa rajab atau shalat sunah khusus di bulan rajab.
  3. Beberapa sahabat melarang orang mengkhususkan puasa khusus di bulan rajab atau melakukan puasa sebulan penuh selama bulan rajab.
  4. Dalil yang menyebutkan keutamaan khusus bagi orang yang melakukan puasa rajab adalah hadis dhaif, dan tidak bisa dijadikan dalil.
  5. Bagi orang yang rajin puasa, dibolehkan untuk memperbanyak puasa di bulan haram. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis Al-Bahily. Hanya saja, hadis ini berlaku umum untuk semua puasa bulan haram, tidak hanya rajab.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Baca Selengkapnya

Shalat Sunnah 4 Raka’at Setelah ‘Isyaa’ Setara dengan Shalat Sunnah 4 Raka'at pada Waktu Lailatul-Qadr

Diantara sunnah yang banyak ditinggalkan kaum muslimin saat ini adalah shalat sunnah empat raka’at setelah ‘Isyaa’. Diantara dasar dalilnya adalah:
حَدَّثَنَا آدَمُ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحَكَمُ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا، فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، ثُمَّ قَالَ: نَامَ الْغُلَيِّمُ أَوْ كَلِمَةً تُشْبِهُهَا، ثُمَّ قَامَ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ خَطِيطَهُ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ "
Telah menceritakan kepada kami Aadam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam, ia berkata : Aku mendengar Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkara : “Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah bin Al-Harits, istri Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam; dan ketika itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di rumah bibi saya itu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ‘Isya’ (di masjid), kemudian beliau pulang, lalu beliau mengerjakan shalat sunnah empat raka’at. Setelah itu beliau tidur, lalu beliau bangun dan bertanya : ‘Apakah anak laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur ?’ -  atau beliau mengucapkan kalimat yang semakna dengan itu. Kemudian beliau berdiri untuk melakukan shalat, lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau untuk bermakmum. Akan tetapi kemudian beliau menjadikanku berposisi di sebelah kanan beliau. Beliau shalat lima raka’at, kemudian shalat lagi dua raka’at, kemudian beliau tidur. Aku mendengar suara dengkurannya yang samar-samar. Tidak berapa lama kemudian beliau bangun, lalu pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat shubuh” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 117].
حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: " مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ كُنَّ كَقَدْرِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idriis, dari Hushain, dari Mujaahid, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah (shalat) ‘Isyaa’, maka nilainya setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/343 (5/100) no. 7351; sanadnya shahih[1]].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " أَرْبَعٌ بَعْدَ الْعِشَاءِ يَعْدِلْنَ بِمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail, dari Al-‘Alaa’ bin Al-Musayyib, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Aswad, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Empat raka’at setelah ‘Isyaa’ setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [idem, no. 7352; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ مُرَّةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: " مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ لَا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِتَسْلِيمٍ ؛ عَدَلْنَ بِمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Abdul-Jabbaar bin ‘Abbaas, dari Qais bin Wahb, dari Murrah, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah ‘Isyaa’ yang tidak dipisahkan dengan salam, maka nilainya setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [idem, no. 7353; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ عَبْدِ الْوَاحِدِ بْنِ أَيْمَنَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ تُبَيْعٍ، عَنْ كَعْبِ بْنِ مَاتِعٍ، قَالَ: " مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ يُحْسِنُ فِيهِنَّ الرُّكُوعَ، وَالسُّجُودَ، عَدَلْنَ مِثْلَهُنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Abdul-Waahid bin Aiman, dari ayahnya, dari Tubai’, dari Ka’b bin Maati’, ia berkata : Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah ‘Isyaa’ dengan membaguskan rukuk dan sujud padanya, nilainya setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [idem, no. 7354; sanadnya hasan].
Atsar Ka’b bin Maati’ atau Ka’b Al-Ahbar ini juga diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 4895-4896 dengan sanad hasan.
Faedah:
1.     Riwayat-riwayat di atas menegaskan tentang masyruu’-nya shalat sunnah empat raka’at setelah ‘Isyaa’.
2.     Amalan tersebut beserta pahalanya yang senilai dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr, meskipun sanadnya mauquuf pada shahabat radliyallaahu 'anhum, namun hukumnya adalah marfuu’,[2] karena di dalamnya tidak ada ruang ijtihaad dalam menetapkan pahala suatu amalan secara khusus, sehingga diketahui bahwasannya statement itu tidak lain hanyalah berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
3.     Afdlal, shalat tersebut dilakukan di rumah sebagaimana hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa. Selain itu, sesuai pula dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
Sesungguhnya seutama-utama shalat adalah shalatnya seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib (yang dilakukan di masjid secara berjama’ah – Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 731].
4.     Shalat sunnah tersebut dilakukan empat raka’at tanpa dipisahkan dengan salam, sebagaimana atsar ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Akan tetapi bisa juga dilakukan dua raka’at-dua raka’at dengan masing-masing salam sesuai keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
Shalat sunnah malam dilakukan dua-dua” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 991].
5.     Diantara ulama yang menegaskan sunnahnya amalan ini antara lain :
As-Sarkhasiy rahimahullah berkata:
فَأَمَّا التَّطَوُّعُ بَعْدَ الْعِشَاءِ فَرَكْعَتَانِ فِيمَا رَوَيْنَا مِنْ الْآثَارِ وَإِنْ صَلَّى أَرْبَعًا فَهُوَ أَفْضَلُ لِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ وَمَرْفُوعًا مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْعِشَاءِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ كُنَّ لَهُ كَمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Adapun shalat sunnah setelah ‘Isyaa’ adalah dua raka’at berdasarkan apa yang diriwayatkan kepada kami dari atsar-atsar. Apabila ia shalat empat raka’at maka afdlal berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu secara mauquuf dan marfuu’ : ‘Barangsiapa shalat setelah ‘Isyaa’ sebanyak empat raka’at, maka baginya pahala senilai empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [Al-Mabsuuth 1/459 – via Syaamilah].
Ibnu Baaz rahimahullah berkata:
الراتبة ركعتان، وإن صلى أربع ركعات فلا بأس، فقد جاء في الحديث: " أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي أربعاً قبل أن ينام " وإذا فعلها الإنسان فلا بأس، وإن اقتصر على ركعتين فهي الراتبة، والراتبة التي كان يحافظ عليها: بعد العشاء ركعتان، ثم ينام، ويقوم في آخر الليل يتهجد عليه الصلاة والسلام
“Shalat sunnah rawatib setelah ‘Isyaa’ adalah dua raka’at. Apabila ia shalat empat raka’at, maka tidak mengapa, karena terdapat dalam hadits : ‘Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat empat raka’at sebelum beliau tidur’. Apabila seseorang melakukannya, maka tidak mengapa. Dan apabila ia meringkasnya dua raka’at, maka itulah shalat sunnah rawatib. Shalat sunnah rawatib yang senantiasa dijaga oleh beliau adalah : dua raka’at setelah ‘Isyaa’, kemudian tidur. Setelah itu bangun di akhir malam untuk melakukan shalat tahajjud. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau” [Majalah Al-Buhuuts Al-Islaamiyyah, 46/197].
Al-Albaaniy rahimahullah mengisyaratkan masyru’-nya shalat sunnah ini ketika menjelaskan hadits no. 5060 dalam buku Silsilah Adl-Dla’iifah 11/101-103.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 26 Jumadats-Tsaaniy 1435/25 April 2014 – 22:25 – pertama kali saya mendapatkan faedah ini dari penjelasan Al-Ustaadz Badru Salam hafidhahullah - dikoreksi pada tanggal 27042014, 05:40].




[1]      Semua perawinya tsiqaat, kecuali Hushain (bin ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy) – seorang yang tsiqah – yang berubah hapalannya di akhir usianya. Muslim mengambil riwayatnya yang berasal dari Ibnu Idriis dalam Shahiih-nya, sehingga besar kemungkinan Ibnu Idriis mengambil riwayat Hushain sebelum masa ikhtilaath-nya. Wallaahu a’lam [lihat : Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaa’iy beserta komentar muhaqiq-nya, hal. 21-24].
[2]      Silakan baca artikel : Hadits Mauquf.

=================================================================

Sumber : abul-jauzaa.blogspot.com
Baca Selengkapnya