30 April 2014

Adakah Puasa Bulan Rajab?

Pertanyaan:
Akhir-akhir ini, banyak orang yang berpuasa di awal bulan Rajab. Saya ingin bertanya, apakah ada tuntunannya dari Rasulullah puasa hanya di awal bulan Rajab atau hanya beberapa hari saja di bulan Rajab?
Hendra Irawan (**hendra@***.com)

Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Tidak terdapat amalan khusus terkait bulan Rajab, baik bentuknya shalat, puasa, zakat, maupun umrah. Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hadis yang menyebutkan amalan di bulan Rajab adalah hadis dhaif dan tertolak.
Ibnu Hajar mengatakan,
لم يرد في فضل شهر رجب ، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين ، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة ، وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ
 “Tidak terdapat riwayat yang sahih yang layak dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula riwayat yang shahih tentang puasa rajab, atau puasa di tanggal tertentu bulan Rajab, atau shalat tahajud di malam tertentu bulan rajab. Keterangan saya ini telah didahului oleh keterangan Imam Al-Hafidz Abu Ismail Al-Harawi.” (Tabyinul Ujub bi Ma Warada fi Fadli Rajab, hlm. 6)
Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibnu Rajab. Dalam karyanya yang mengupas tentang amalan sepanjang tahun, yang berjudul Lathaiful Ma’arif,  beliau menegaskan tidak ada shalat sunah khusus untuk bulan rajab,
لم يصح في شهر رجب صلاة مخصوصة تختص به و الأحاديث المروية في فضل صلاة الرغائب في أول ليلة جمعة من شهر رجب كذب و باطل لا تصح و هذه الصلاة بدعة عند جمهور العلماء
“Tidak terdapat dalil yang sahih tentang anjuran shalat tertentu di bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat Raghaib di malam Jumat pertama bulan Rajab adalah hadis dusta, batil, dan tidak sahih. Shalat Raghaib adalah bid’ah, menurut mayoritas ulama.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 213)
Terkait masalah puasa di bulan Rajab, Imam Ibnu Rajab juga menegaskan,
لم يصح في فضل صوم رجب بخصوصه شيء عن النبي صلى الله عليه و سلم و لا عن أصحابه و لكن روي عن أبي قلابة قال : في الجنة قصر لصوام رجب قال البيهقي : أبو قلابة من كبار التابعين لا يقول مثله إلا عن بلاغ و إنما ورد في صيام الأشهر الحرم كلها
“Tidak ada satu pun hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu Qilabah, bahwa beliau mengatakan, ‘Di surga terdapat istana untuk orang yang rajin berpuasa di bulan Rajab.’ Namun, riwayat ini bukan hadis. Imam Al-Baihaqi mengomentari keterangan Abu Qilabah, ‘Abu Qilabah termasuk tabi’in senior. Beliau tidak menyampaikan riwayat itu, melainkan hanya kabar tanpa sanad.’ Riwayat yang ada adalah riwayat yang menyebutkan anjuran puasa di bulan haram seluruhnya” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 213)
Keterangan Ibnu Rajab yang menganjurkan adanya puasa di bulan haram, ditunjukkan dalam hadis dari Mujibah Al-Bahiliyah dari bapaknya atau pamannya, Al-Bahily. Sahabat Al-Bahily ini mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah bertemu dan menyatakan masuk islam, beliau kemudian pulang kampungnya. Satu tahun kemudian, dia datang lagi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Ya Rasulullah, apakah anda masih mengenal saya.” Tanya Kahmas,
“Siapa anda?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Saya Al-Bahily, yang dulu pernah datang menemui anda setahun yang lalu.” Jawab sahabat
“Apa yang terjadi dengan anda, padahal dulu anda berbadan segar?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Saya tidak pernah makan, kecuali malam hari, sejak saya berpisah dengan anda.” Jawab sahabat.
Menyadari semangat sahabat ini untuk berpuasa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,
لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ، صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ، وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
Mengapa engkau menyiksa dirimu. Puasalah di bulan sabar (ramadhan), dan puasa sehari setiap bulan.
Namun Al-Bahily selalu meminta tambahan puasa sunah,
“Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan, “Saya masih kuat. Tambahkanlah!” “Dua hari setiap bulan.” Orang ini mengatakan, “Saya masih kuat. Tambahkanlah!” “Tiga hari setiap bulan.” Orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Sampai akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kalimat pungkasan,
صُمْ مِنَ الحُرُمِ وَاتْرُكْ، صُمْ مِنَ الحُرُمِ وَاتْرُكْ، صُمْ مِنَ الحُرُمِ وَاتْرُكْ
“Berpuasalah di bulan haram, lalu jangan puasa (kecuali ramadhan)…, Berpuasalah di bulan haram, lalu jangan puasa…, Berpuasalah di bulan haram, lalu jangan puasa.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Al-Baihaqi dan yang lainnya. Hadis ini dinilai sahih oleh sebagian ulama dan dinilai dhaif oleh ulama lainnya).
Bulan haram artinya bulan yang mulia. Allah memuliakan bulan ini dengan larangan berperang. Bulan haram, ada empat: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Puasa di Bulan Haram

Hadis Mujibah Al-Bahiliyah menceritakan anjuan untuk berpuasa di semua bulan haram, sebagaimana yang ditegaskan Ibnu Rajab. Itupun anjuran puasa ini sebagai pilihan terakhir ketika seseorang hendak memperbanyak puasa sunah, sebagaimana yang disarankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Al-Bahily. Karena itu, terlalu jauh ketika hadis ini dijadikan dalil anjuran puasa di bulan rajab secara khusus, sementara untuk bulan haram lainnya, kurang diperhatikan. Karena praktek yang dilakukan beberapa ulama, mereka berpuasa di seluruh bulan haram, tidak hanya bulan rajab. Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Rajab,
قد كان بعض السلف يصوم الأشهر الحرم كلها منهم ابن عمر و الحسن البصري و أبو اسحاق السبيعي و قال الثوري : الأشهر الحرم أحب إلي أن أصوم فيها
Beberapa ulama salaf melakukan puasa di semua bulan haram, di antaranya: Ibnu Umar, Hasan Al-Bashri, dan Abu Ishaq As-Subai’i. Imam Ats-Tsauri mengatakan, “Bulan-bulan haram, lebih aku cintai untuk dijadikan waktu berpuasa.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 213).

Para Sahabat Melarang Mengkhususkan Rajab untuk Puasa

Kebiasaan mengkhususkan puasa di bulan rajab telah ada di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Beberapa tabiin yang hidup di zaman Umar bahkan telah melakukannnya. Dengan demikian, kita bisa mengacu bagaimana sikap sahabat terhadap fenomena terkait kegiatan bulan rajab yang mereka jupai.
Berikut beberapa riwayat yang menyebutkan reaksi mereka terhadap puasa rajab. Riwayat ini kami ambil dari buku Lathaiful Ma’arif, satu buku khusus karya Ibnu Rajab, yang membahas tentang wadzifah (amalan sunah) sepanjang masa,
روي عن عمر رضي الله عنه : أنه كان يضرب أكف الرجال في صوم رجب حتى يضعوها في الطعام و يقول : ما رجب ؟ إن رجبا كان يعظمه أهل الجاهلية فلما كان الإسلام ترك
Diriwayatkan dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau memukul telapak tangan beberapa orang yang melakukan puasa rajab, sampai mereka meletakkan tangannya di makanan. Umar mengatakan, “Apa rajab? Sesungguhnnya rajab adalah bulan yang dulu diagungkan masyarakat jahiliyah. Setelah islam datang, ditinggalkan.”
Dalam riwayat yang lain,
كرِهَ أن يَكونَ صِيامُه سُنَّة
“Beliau benci ketika puasa rajab dijadikan sunah (kebiasaan).” (Lathaif Al-Ma’arif, 215).
Dalam riwayat yang lain, tentang sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu,
أنه رأى أهله قد اشتروا كيزانا للماء واستعدوا للصوم فقال : ما هذا ؟ فقالوا: رجب. فقال: أتريدون أن تشبهوه برمضان ؟ وكسر تلك الكيزان
Beliau melihat keluarganya telah membeli bejana untuk wadah air, yang mereka siapkan untuk puasa. Abu Bakrah bertanya: ‘Puasa apa ini?’ Mereka menjawab: ‘Puasa rajab’ Abu Bakrah menjawab, ‘Apakah kalian hendak menyamakan rajab dengan ramadhan?’ kemudian beliau memecah bejana-bejana itu. (Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 3/107, Ibn Rajab dalam Lathaif hlm. 215, Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 25/291, dan Al-Hafidz ibn Hajar dalam Tabyi Al-Ujb hlm. 35)
Ibnu Rajab juga menyebutkan beberapa riwayat lain dari beberapa sahabat lainnya, seperti Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, bahwa mereka membenci seseorang yang melakukan puasa rajab sebulan penuh.
Sikap mereka ini menunjukkan bahwa mereka memahami bulan rajab bukan bulan yang dianjurkan untuk dijadikan waktu berpuasa secara khusus. Karena kebiasaan itu sangat mungkin, tidak mereka alami di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesimpulan:
Kesimpulan dari keterangan di atas,
  1. Tidak dijumpai dalil khusus yang menyebutkan keutamaan bulan rajab.
  2. Tidak dijumpai dalil yang menyebutkan keutamaan puasa rajab atau shalat sunah khusus di bulan rajab.
  3. Beberapa sahabat melarang orang mengkhususkan puasa khusus di bulan rajab atau melakukan puasa sebulan penuh selama bulan rajab.
  4. Dalil yang menyebutkan keutamaan khusus bagi orang yang melakukan puasa rajab adalah hadis dhaif, dan tidak bisa dijadikan dalil.
  5. Bagi orang yang rajin puasa, dibolehkan untuk memperbanyak puasa di bulan haram. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis Al-Bahily. Hanya saja, hadis ini berlaku umum untuk semua puasa bulan haram, tidak hanya rajab.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Baca Selengkapnya

Shalat Sunnah 4 Raka’at Setelah ‘Isyaa’ Setara dengan Shalat Sunnah 4 Raka'at pada Waktu Lailatul-Qadr

Diantara sunnah yang banyak ditinggalkan kaum muslimin saat ini adalah shalat sunnah empat raka’at setelah ‘Isyaa’. Diantara dasar dalilnya adalah:
حَدَّثَنَا آدَمُ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحَكَمُ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا، فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، ثُمَّ قَالَ: نَامَ الْغُلَيِّمُ أَوْ كَلِمَةً تُشْبِهُهَا، ثُمَّ قَامَ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ خَطِيطَهُ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ "
Telah menceritakan kepada kami Aadam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam, ia berkata : Aku mendengar Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkara : “Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah bin Al-Harits, istri Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam; dan ketika itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di rumah bibi saya itu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ‘Isya’ (di masjid), kemudian beliau pulang, lalu beliau mengerjakan shalat sunnah empat raka’at. Setelah itu beliau tidur, lalu beliau bangun dan bertanya : ‘Apakah anak laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur ?’ -  atau beliau mengucapkan kalimat yang semakna dengan itu. Kemudian beliau berdiri untuk melakukan shalat, lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau untuk bermakmum. Akan tetapi kemudian beliau menjadikanku berposisi di sebelah kanan beliau. Beliau shalat lima raka’at, kemudian shalat lagi dua raka’at, kemudian beliau tidur. Aku mendengar suara dengkurannya yang samar-samar. Tidak berapa lama kemudian beliau bangun, lalu pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat shubuh” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 117].
حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: " مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ كُنَّ كَقَدْرِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idriis, dari Hushain, dari Mujaahid, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah (shalat) ‘Isyaa’, maka nilainya setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/343 (5/100) no. 7351; sanadnya shahih[1]].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " أَرْبَعٌ بَعْدَ الْعِشَاءِ يَعْدِلْنَ بِمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail, dari Al-‘Alaa’ bin Al-Musayyib, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Aswad, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Empat raka’at setelah ‘Isyaa’ setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [idem, no. 7352; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ مُرَّةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: " مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ لَا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِتَسْلِيمٍ ؛ عَدَلْنَ بِمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Abdul-Jabbaar bin ‘Abbaas, dari Qais bin Wahb, dari Murrah, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah ‘Isyaa’ yang tidak dipisahkan dengan salam, maka nilainya setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [idem, no. 7353; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ عَبْدِ الْوَاحِدِ بْنِ أَيْمَنَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ تُبَيْعٍ، عَنْ كَعْبِ بْنِ مَاتِعٍ، قَالَ: " مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ يُحْسِنُ فِيهِنَّ الرُّكُوعَ، وَالسُّجُودَ، عَدَلْنَ مِثْلَهُنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Abdul-Waahid bin Aiman, dari ayahnya, dari Tubai’, dari Ka’b bin Maati’, ia berkata : Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah ‘Isyaa’ dengan membaguskan rukuk dan sujud padanya, nilainya setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [idem, no. 7354; sanadnya hasan].
Atsar Ka’b bin Maati’ atau Ka’b Al-Ahbar ini juga diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 4895-4896 dengan sanad hasan.
Faedah:
1.     Riwayat-riwayat di atas menegaskan tentang masyruu’-nya shalat sunnah empat raka’at setelah ‘Isyaa’.
2.     Amalan tersebut beserta pahalanya yang senilai dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr, meskipun sanadnya mauquuf pada shahabat radliyallaahu 'anhum, namun hukumnya adalah marfuu’,[2] karena di dalamnya tidak ada ruang ijtihaad dalam menetapkan pahala suatu amalan secara khusus, sehingga diketahui bahwasannya statement itu tidak lain hanyalah berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
3.     Afdlal, shalat tersebut dilakukan di rumah sebagaimana hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa. Selain itu, sesuai pula dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
Sesungguhnya seutama-utama shalat adalah shalatnya seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib (yang dilakukan di masjid secara berjama’ah – Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 731].
4.     Shalat sunnah tersebut dilakukan empat raka’at tanpa dipisahkan dengan salam, sebagaimana atsar ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Akan tetapi bisa juga dilakukan dua raka’at-dua raka’at dengan masing-masing salam sesuai keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
Shalat sunnah malam dilakukan dua-dua” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 991].
5.     Diantara ulama yang menegaskan sunnahnya amalan ini antara lain :
As-Sarkhasiy rahimahullah berkata:
فَأَمَّا التَّطَوُّعُ بَعْدَ الْعِشَاءِ فَرَكْعَتَانِ فِيمَا رَوَيْنَا مِنْ الْآثَارِ وَإِنْ صَلَّى أَرْبَعًا فَهُوَ أَفْضَلُ لِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ وَمَرْفُوعًا مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْعِشَاءِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ كُنَّ لَهُ كَمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Adapun shalat sunnah setelah ‘Isyaa’ adalah dua raka’at berdasarkan apa yang diriwayatkan kepada kami dari atsar-atsar. Apabila ia shalat empat raka’at maka afdlal berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu secara mauquuf dan marfuu’ : ‘Barangsiapa shalat setelah ‘Isyaa’ sebanyak empat raka’at, maka baginya pahala senilai empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [Al-Mabsuuth 1/459 – via Syaamilah].
Ibnu Baaz rahimahullah berkata:
الراتبة ركعتان، وإن صلى أربع ركعات فلا بأس، فقد جاء في الحديث: " أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي أربعاً قبل أن ينام " وإذا فعلها الإنسان فلا بأس، وإن اقتصر على ركعتين فهي الراتبة، والراتبة التي كان يحافظ عليها: بعد العشاء ركعتان، ثم ينام، ويقوم في آخر الليل يتهجد عليه الصلاة والسلام
“Shalat sunnah rawatib setelah ‘Isyaa’ adalah dua raka’at. Apabila ia shalat empat raka’at, maka tidak mengapa, karena terdapat dalam hadits : ‘Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat empat raka’at sebelum beliau tidur’. Apabila seseorang melakukannya, maka tidak mengapa. Dan apabila ia meringkasnya dua raka’at, maka itulah shalat sunnah rawatib. Shalat sunnah rawatib yang senantiasa dijaga oleh beliau adalah : dua raka’at setelah ‘Isyaa’, kemudian tidur. Setelah itu bangun di akhir malam untuk melakukan shalat tahajjud. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau” [Majalah Al-Buhuuts Al-Islaamiyyah, 46/197].
Al-Albaaniy rahimahullah mengisyaratkan masyru’-nya shalat sunnah ini ketika menjelaskan hadits no. 5060 dalam buku Silsilah Adl-Dla’iifah 11/101-103.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 26 Jumadats-Tsaaniy 1435/25 April 2014 – 22:25 – pertama kali saya mendapatkan faedah ini dari penjelasan Al-Ustaadz Badru Salam hafidhahullah - dikoreksi pada tanggal 27042014, 05:40].




[1]      Semua perawinya tsiqaat, kecuali Hushain (bin ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy) – seorang yang tsiqah – yang berubah hapalannya di akhir usianya. Muslim mengambil riwayatnya yang berasal dari Ibnu Idriis dalam Shahiih-nya, sehingga besar kemungkinan Ibnu Idriis mengambil riwayat Hushain sebelum masa ikhtilaath-nya. Wallaahu a’lam [lihat : Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaa’iy beserta komentar muhaqiq-nya, hal. 21-24].
[2]      Silakan baca artikel : Hadits Mauquf.

=================================================================

Sumber : abul-jauzaa.blogspot.com
Baca Selengkapnya