11 Maret 2013

Agama Ini Telah Sempurna

Share it Please
Allah menurunkan agama Islam dalam keadaan telah sempurna. Ia tidak membutuhkan penambahan ataupun pengurangan. Namun toh, banyak manusia menciptakan amalan-amalan baru yang disandarkan pada agama hanya karena kebanyakan dari mereka menganggap baik perbuatan tersebut.

Perjalanan agama Islam yang telah mencapai rentang waktu 14 abad lebih, sedikit banyak memberikan pengaruh bagi para penganutnya. Sebagian besar di antara mereka menjalankan agama ini hanya sebatas seperti apa yang dilakukan para orang tuanya. Yang lebih parah, tidak sedikit pula yang menjalankan agama ini dalam kungkungan kelompok-kelompok sesat seperti Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Sufi, dan sebagainya. Sementara yang menjalankan agama ini di atas pemahaman yang shahih jumlahnya amatlah sedikit.

Seperti inilah kondisi umat Islam. As Sunnah (ajaran Nabi) sudah semakin asing sementara bid’ah kian berkembang. Banyak orang menganggap As Sunnah sebagai bid’ah dan menganggap bid’ah sebagai As Sunnah. Syi’ar-syi’ar bid’ah dengan mudahnya dijumpai di sekeliling kita, sebaliknya syi’ar-syi’ar As Sunnah bagaikan barang langka.
Bid’ah secara bahasa artinya adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Dari sini, maka pengertian firman Allah subhanahu wata'ala:

Allah Pencipta langit dan bumi.” (Al-Baqarah: 117)
Maknanya adalah yang mengadakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya. (Al-I’tisham, 1/49)
 
Dan firman Allah subhanahu wata'ala:

Katakanlah: Aku bukanlah rasul yang pertama dari rasul-rasul.” (Al- Ahqaf: 9)
Maksudnya, aku bukanlah orang pertama yang membawa risalah ini dari Allah subhanahu wata'ala kepada hamba-hamba-Nya, (akan tetapi) telah datang rasul-rasul sebelumku.
Dari sini dapat dikatakan bahwa seseorang (dikatakan) berbuat bid’ah artinya dia membuat suatu metode baru yang belum pernah ada contoh sebelumnya. Dari pengertian ini pula, maka sesuatu yang baru yang diada-adakan dalam agama juga dinamakan bid’ah.
Maka dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah suatu cara atau jalan yang baru yang diada-adakan di dalam agama, yang menyerupai syariat dan tujuannya adalah menunjukkan sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah. (Al-I’tisham, 1/49-51)
Jenis-jenis Bid’ah

Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah menyebutkan pembagian bid’ah ini menjadi dua, yaitu bid’ah haqiqiyyah dan bid’ah idhafiyyah.
1. Bid’ah haqiqiyyah adalah bid’ah yang tidak ada dalil syariat yang menunjukkannya sama sekali, secara global maupun terperinci, tidak dari Al Qur’an, atau As Sunnah ataupun Ijma’ (kesepakatan ulama).
2. Bid’ah idhafiyyah adalah bid’ah yang mengandung dua keadaan. Yang pertama, dalam hal amalan itu termasuk yang disyariatkan, akan tetapi si pembuat bid’ah memasukkan suatu perkara dari diri mereka kemudian merubah asal pensyariatannya dengan pengamalannya ini. Kebanyakan bid’ah yang terjadi adalah dari jenis ini.

Sebagai contoh adalah dzikir secara berjamaah dengan irama (suara) yang bersamaan. Pada asalnya dzikir adalah amalan yang disyariatkan, akan tetapi dengan bentuk atau cara yang seperti ini tidak pernah sama sekali dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka ini dikatakan bid’ah.

Begitu pula bid’ah perayaan Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Pada hakekatnya, mencintai Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah wajib bagi setiap muslim dan tidak sempurna keimanannya sehingga dia menjadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam orang yang paling dicintainya, lebih dari dirinya sendiri, anak-anaknya, ibu bapaknya atau bahkan seluruh manusia. Namun semua itu dibuktikan dengan mentaatinya, melaksanakan semua perintahnya, menjauhi larangannya, membenarkan semua berita yang disampaikannya. Dan sesungguhnya beliau shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang umatnya dari kebid’ahan:
Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari Al-’Irbadh bin Sariyah radhiallahu 'anhu).
Barangsiapa mengerjakan satu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalan itu tertolak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha).

Tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa para Al-Khulafa Ar-Rasyidin atau shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang lain ataupun ulama-ulama Ahlus Sunnah yang menjadi panutan mengamalkan perayaan maulid ini. Bahkan sesungguhnya bid’ah maulid ini pertama kali dilakukan oleh sebagian orang dari dinasti Fathimiyyin Al-’Ubaidiyyin dari golongan sesat Syiah yang mengaku-aku bahwa mereka adalah keturunan Fathimah radhiallahu'ahna bintu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Adapula yang membagi bid’ah ini berdasarkan akibatnya, yaitu menyebabkan seseorang menjadi kafir, keluar dari Islam dan bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya kafir.
Adapun bid’ah yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah mengingkari perkara agama yang dharuri (perkara yang sangat prinsif dan sangat penting untuk diketahui dalam islam) yang telah diketahui dan disepakati oleh kaum muslimin serta mutawatir menurut syariat Islam. Misalnya menentang hal-hal yang telah dinyatakan wajib oleh syariat (shalat, puasa dan lain-lain), atau menghalalkan apa yang diharamkan atau sebaliknya, atau mempunyai keyakinan tentang suatu perkara yang Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam serta kitab-Nya bersih dari perkara tersebut.

Bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah bid’ah yang tidak menimbulkan pendustaan (pengingkaran) terhadap Al Qur’an atau sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Seperti yang pernah terjadi di masa kekuasaan Bani ‘Umayyah, misalnya menunda shalat dari waktu yang seharusnya dan mendahulukan khutbah dari shalat ‘ied. Hal ini ditentang oleh para shahabat yang masih hidup ketika itu, namun mereka tidak mengkafirkan para penguasa yang ada ketika itu, bahkan tidak menarik bai’at (sumpah setia) mereka dari para penguasa itu.

Larangan Berbuat Bid’ah

Dari keterangan tentang pengertian dan bentuk-bentuk bid’ah ini, maka tidak samar lagi bahwa perbuatan bid’ah adalah sangat tercela dan mengikutinya berarti menyimpang dari ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus).

Adapun larangan berbuat bid’ah senantiasa erat kaitannya dengan perintah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan jamaah, baik yang bersumber dari Al Qur’an maupun hadits-hadits shahih dan atsar (peninggalan) para ulama salaf (dari kalangan shahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in).

Allah subhanahu wata'ala berfirman:
Dan berpeganglah kamu sekalian dengan tali (agama) Allah! Dan janganlah kalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika kalian dalam keadaan saling bermusuhan lalu Dia mempersatukan hati-hati kalian, sehingga akhirnya kalian menjadi bersaudara, dan (ingatlah) ketika kalian di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat (tanda kekuasaan)-Nya mudah-mudahan kalian mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Dan firman Allah subhanahu wata'ala:
“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali selain Allah, sedikit sekali dari kalian yang mau mengambil pelajaran.” (Al-A’raf: 3)
Katakanlah (hai Muhammad), jika kalian (betul-betul) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni (dosa-dosa) kalian, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Kalau kalian mentaatinya (Nabi Muhammad), niscaya kalian akan mendapat petunjuk.” (An-Nur: 54)
Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah (Muhammad) suri teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Allah dan (pahala) hari akhirat, dan banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Dan apa yang dibawa oleh Rasul itu kepada kalian, maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
Maka tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa`: 65)

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Saya wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan mentaati (penguasa) walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak belian. Dan sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang (masih) hidup sepeninggalku, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan Sunnah (jalan atau cara hidup)-ku dan sunnah para Al-Khulafa Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, dan gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari Al-’Irbadh bin Sariyah radhiallahu'anhu)

Kemudian dari pada itu. Maka sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitab Allah. Dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Maka sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Shahih, HR. Muslim dari Jabir radhiallhu 'anhu)
 
‘Abdullah bin ‘Ukaim menyebutkan bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu pernah mengatakan: “Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah firman Allah subhanahu wata'ala. Dan sesungguhnya sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Ingatlah, bahwa semua yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat dan kesesatan itu (tempatnya) di neraka.” (Al-Lalikai, 1/84)
‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu menyebutkan: “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah. Sungguh kamu sekalian telah diberi kecukupan (dalam agama kalian). Dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Al-Ibanah 1/327-328, Al-Lalikai 1/86)

‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhu mengatakan: “Semua bid’ah itu adalah sesat meskipun orang menganggapnya baik.” (Al-Ibanah 1/339, Al-Lalikai 1/92)

Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah subhanahu wata'ala telah menyatakan:
Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al- Maidah: 3)
 
Maka apapun yang ketika itu (di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya) bukanlah sebagai ajaran Islam, maka pada hari ini juga bukan sebagai ajaran Islam."

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah menyebutkan: “Sesungguhnya apabila Allah menyatakan Dia telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mencabut ruh Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam maka apakah lagi gunanya segala pemikiran atau pendapat yang diada-adakan oleh pemiliknya sesudah Allah menyempurnakan agama-Nya ini?! Kalau pendapat mereka itu merupakan bagian dari agama ini menurut keyakinan mereka, itu artinya mereka menganggap bahwa agama ini belum sempurna kecuali setelah dilengkapi dengan pemikiran mereka. Hal ini berarti penentangan terhadap Al Qur’an. Dan seandainya pemikiran tersebut bukan dari agama, maka apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari ajaran agama (Islam)?!
(Ayat) ini adalah hujjah yang tegas dan dalil yang pasti. Tidak mungkin mereka membantahnya sama sekali selama-lamanya. Maka jadikanlah ayat yang mulia ini senjata pertama yang dipukulkan ke muka ahlul bid’ah dan untuk mematahkan semua hujjah mereka
.” (Al-Qaulul Mufid hal. 38, dinukil dari Al-Luma’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar