Di antara olah raga yang digandrungi para pria adalah bermain sepakbola.
Di setiap penjuru negeri, dari kota hingga desa, menggemari olahraga
yang satu ini. Dalam Islam, olahraga sepakbola asalnya boleh. Namun
tentu saja kita mesti memperhatikan aturan Islam tentang olahraga yang
satu ini.
Olahraga sepakbola itu boleh dengan beberapa ketentuan[1]:
Pertama: Tidak membuka aurat.
Aurat
pria adalah antara pusar hingga lutut. Artinya antara pusar dan lutut
tidak boleh dipandang. Lutut sendiri tidak termasuk aurat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إِلَى رُكْبَتِهِ مِنَ الْعَوْرَةِ
“Karena di antara pusar dan lutut adalah aurat.”[2] Oleh karena itu, yang ingin bermain sepakbola hendaknya tidak mengenakan celana yang pendek sehingga kelihatan pahanya.
Syaikh
‘Abdul Muhsin Al ‘Ubaikan, ulama senior di Saudi Arabia ditanya
mengenai hukum bermain sepakbola oleh orang awam dan kapan terlarang,
lalu apa batasan pakaian yang dibolehkan. Beliau hafizhohullah menjawab, “Bermain sepakbola itu boleh. Akan tetapi harus menutup aurat antara pusar dan lutut, wallahu a’lam.”[3]
Kedua: Bermain bola tidak dengan taruhan.
Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
membolehkan musabaqoh (perlombaan) dengan taruhan pada perkara tertentu
saja. Perkara tersebut adalah yang dapat menegakkan islam, yaitu
sebagai sarana untuk latihan berjihad. Perlombaan dengan taruhan yang
dibolehkan disebutkan dalam hadits Abu Hurairah,
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ
“Tidak ada taruhan kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda.”[4]
Sebagian ulama memperluas lagi perlombaan yang dibolehkan (dengan
taruhan) yaitu perlombaan menghafal Al Qur’an, hadits dan berbagai macam
ilmu agama. Karena menghafal di sini dalam rangka menjaga langgengnya
ajaran Islam sehingga bernilai sama dengan lomba pacuan kuda atau lomba
memanah.
Lihat bahasan rumaysho.com lainnya tentang taruhan dalam lomba di sini.
Ketiga: Tidak menyia-nyiakan waktu shalat.
Ini
juga harus diperhatikan karena pria punya kewajiban shalat dan punya
kewajiban berjama’ah di masjid. Jika shalat disia-siakan, maka perkara
lainnya akan lebih dilalaikan lagi. Amirul Mukminin, Umar bin Al
Khoththob radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya di
antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga
shalat, berarti dia telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang
menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan
lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan
shalat.“[5]
Keempat: Tujuan bermain sepakbola adalah untuk membugarkan badan.
Tujuan bermain pun jelas untuk melatih fisik, membugarkan badan sebagaimana kita melakukan olahraga-olahraga lainnya.
Kelima: Tidak sampai menyia-nyiakan waktu
Bermain
bola haruslah memperhatikan waktu. Jangan sampai waktu kita jadi
sia-sia karena seringnya bermain bola setiap saat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”[6]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian
yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya
membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian. Semoga kita
merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan
waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu
(membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian
hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[7]
Sangat baik sekali jika waktu senggang kita diisi dengan ibadah,
menghafal Kitabullah, mempelajari Islam dan kegiatan manfaat lainnya.
Baca artikel tentang hukum begadang karena nonton bola di sini.
Keenam: Jangan mudah emosi
Sebagai
tambahan, ketika bermain sepakbola hendaklah menjaga amarah, jangan
mudah emosi dan pandai-pandai menjaga lisan dari cacian. Karena sudah
barang tentu kita akan mendapatkan perlakuan kasar dari teman bermain
baik disengaja maupun tidak. Namun kita jangan sampai berbalik berlaku
kasar. Teruslah berakhlak mulia. Dan tunjukkan bahwa Anda adalah seorang
muslim yang baik dengan membalas kejelekan malah dengan kebaikan. Allah
Ta'ala berfirman,
وَلَا
تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ
حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا
يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35
“Dan tidaklah
sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat:
34-35). Sahabat yg mulia, Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma- mengatakan,
"Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang
membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan
memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan
semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan
menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi
teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini." Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan, "Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang
memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan
kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa."[8] Sehingga bermain bola pun butuh sikap sabar.
Wallahu waliyyut taufiq.
Riyadh-KSA, 13 Rajab 1432 H (15/06/2011)
[1] Syarat-syarat tersebut kami kembangkan dari tulisan pada link: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=19616
[2] HR. Ahmad 2/187, Al Baihaqi 2/229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan sanad hadits ini hasan.
[3] Lihat fatwa Syaikh Al ‘Ubaikan dalam situs resmi beliau: http://al-obeikan.com/show_fatwa/1068.html
[4] HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574, Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani
[5] Ash Sholah, Ibnul Qayyim, hal. 12, terbitan Dar Al Imam Ahmad.
[6] HR. Tirmidzi no. 2318, shahih lighoirihi kata Syaikh Al Albani.
[7] Al Fawa’id, Ibnul Qayyim, hal. 33, Darul ‘Aqidah.
[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1421 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar