Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berbsabda.
"Artinya : Apabila sudah dikumandangkan iqamah, tidak ada lagi shalat selain shalat wajib" [Sunan Abi Daud, dalam kitab Ash-Shalah, bab : Orang Menjalankan Shalat Sunnah Di Tempat Ia Shalat Wajib, dengan no. 1006. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud I : 188]
Demikian juga dengan hadits Abdullah bin Malik bin Buhainah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat seorang lelaki, melakukan shalat dua raka'at padahal iqamah sudah dikumandangkan. Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat, orang-orang menoleh kepadanya (Yakni berkumpul dan menoleh kepadanya. Demikian dijelaskan dalam Al-Qamus Al-Muhith Lihat Nailul Authar oleh Asy-Syaukani II : 287) Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Shalat Shubuh empat raka'at, shalat Shubuh empar raka'at ?" (Maksudnya, hendaknya jangan shalat Sunnah ketika sudah iqamah, sehingga terkesan melakukan shalat Shubuh empat raka'at, -pen) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dan lafazh Al-Bukhari dalam kitab Al-Adzan bab : Apabila Shalat Sudah Didirikan (dikumandangkan iqamah), tidak ada Shalat Selain Shalat Wajib, no 663. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Al-Musafirin, bab : Dilarangnya Melakukan Shalat Sunnah Jika Muadzin Telah Mengumandangkan Iqamah, no. 711]
Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Sarjis Radhiyallahu 'anhu bahwa ada seorang lelaki datang ke masjid Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat shalat Shubuh, lalu shalat dua raka'at di samping masjid, kemudian bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ia masuk ke dalam masjid untuk shalat berjama'ah. Selesai salam, Rasulullah bersabda : "Wahai Fulan, dengan shalat yang mana engkau menganggap (yang wajib), dengan shalatmu sendirian tadi, atau dengan shalatmu bersama kami" [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shalatul Musafirin, bab : Dilarangnya Melakukan Shalat Sunnah Setelah Muadzin Mengumandangkan Iqamah, no. 712]
Hadits-Hadits diatas menunjukkan bahwa seorang muslim bila mendengar iqamah, tidak lagi diperbolehkan untuk melakukan shalat sunnah, baik itu sunnah Rawatib, seperti sunnah Shubuh, Zhuhur, Ashar atau yang lainnya, di dalam, atau di luar masjid, baik ia dalam keadaan khawatir ketinggalan raka'at pertama, atau tidak khawatir. Yang menjadi hujjah ketika terjadi perbedaan pendapat adalah As-Sunnah. Barangsiapa mendahulukan ajaran Sunnah tersebut, ia akan menang [Lihat Syarah Muslim oleh An-Nawawi V : 229 dan Fathul Bari oleh Ibnu Hajar II : 150, juga Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah II : 119, serta Nailul Authar oleh Asy-Syaukani II : 284]
Yang benar adalah hikmah yang terkandung di dalamnya agar ia dapat mengikuti shalat wajib dari awalnya. Ia dapat segera mengikuti shalat setelah imam bertakbir. Karena kalau ia sibuk menjalankan ibadah sunnah, ia akan ketinggalan Takbiratul Ihram bersama imam dan sebagian hal yang dapat menjadi pelengkap yang wajib. Ada juga hikmah lain, yakni larangan untuk menyelisihi para imam.
Dapat juga diambil dari keumuman sabda Nabi : "Bila telah dikumandangkan iqamah, tidak ada shalat lain kecuali shalat wajib", bagi orang yang berpendapat bahwa bila sudah dukumandangkan iqamah, shalat sunnah harus dihentikan. [Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar II:151]
Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat sunnah itu tidak perlu dihentikan bila sudah dikumandangkan iqamah, namun diteruskan saja dengan ringkas, berdasarkan keumuman firman Allah. "Artinya : Hai orang-orang yan beriman, ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu" [Muhammad : 33]
Hadits-hadits tersebut berlaku bagi orang yang memulai shalat sesudah iqamah dikumandangkan. Ada yang berpendapat, bahwa apabila khawatir akan ketinggalan shalat fardhu berjama'ah, hendaknya ia membatalkannya, namun bila tidak, hendaknya ia meneruskannya. [Lihat Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah II : 120 dan Fathul Bari oleh Ibnu Hajar II : 151]
Yang benar, adalah yang terindikasikan oleh keumuman hadits-hadits tersebut, bahwa hendaknya ia menghentikan shalat sunnahnya. Dan itu terlihat jelas dalam hadits Abdullah bin Malik bin Buhainah yang telah disebutkan sebelum ini {Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dengan no.663 dan Muslim dengan no. 711, telah ditakhrij sebelum ini].
Demikian juga dengan hadits Abdullah bin Malik bin Buhainah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat seorang lelaki, melakukan shalat dua raka'at padahal iqamah sudah dikumandangkan. Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat, orang-orang menoleh kepadanya (Yakni berkumpul dan menoleh kepadanya. Demikian dijelaskan dalam Al-Qamus Al-Muhith Lihat Nailul Authar oleh Asy-Syaukani II : 287) Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Shalat Shubuh empat raka'at, shalat Shubuh empar raka'at ?" (Maksudnya, hendaknya jangan shalat Sunnah ketika sudah iqamah, sehingga terkesan melakukan shalat Shubuh empat raka'at, -pen) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dan lafazh Al-Bukhari dalam kitab Al-Adzan bab : Apabila Shalat Sudah Didirikan (dikumandangkan iqamah), tidak ada Shalat Selain Shalat Wajib, no 663. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Al-Musafirin, bab : Dilarangnya Melakukan Shalat Sunnah Jika Muadzin Telah Mengumandangkan Iqamah, no. 711]
Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Sarjis Radhiyallahu 'anhu bahwa ada seorang lelaki datang ke masjid Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat shalat Shubuh, lalu shalat dua raka'at di samping masjid, kemudian bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ia masuk ke dalam masjid untuk shalat berjama'ah. Selesai salam, Rasulullah bersabda : "Wahai Fulan, dengan shalat yang mana engkau menganggap (yang wajib), dengan shalatmu sendirian tadi, atau dengan shalatmu bersama kami" [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shalatul Musafirin, bab : Dilarangnya Melakukan Shalat Sunnah Setelah Muadzin Mengumandangkan Iqamah, no. 712]
Hadits-Hadits diatas menunjukkan bahwa seorang muslim bila mendengar iqamah, tidak lagi diperbolehkan untuk melakukan shalat sunnah, baik itu sunnah Rawatib, seperti sunnah Shubuh, Zhuhur, Ashar atau yang lainnya, di dalam, atau di luar masjid, baik ia dalam keadaan khawatir ketinggalan raka'at pertama, atau tidak khawatir. Yang menjadi hujjah ketika terjadi perbedaan pendapat adalah As-Sunnah. Barangsiapa mendahulukan ajaran Sunnah tersebut, ia akan menang [Lihat Syarah Muslim oleh An-Nawawi V : 229 dan Fathul Bari oleh Ibnu Hajar II : 150, juga Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah II : 119, serta Nailul Authar oleh Asy-Syaukani II : 284]
Yang benar adalah hikmah yang terkandung di dalamnya agar ia dapat mengikuti shalat wajib dari awalnya. Ia dapat segera mengikuti shalat setelah imam bertakbir. Karena kalau ia sibuk menjalankan ibadah sunnah, ia akan ketinggalan Takbiratul Ihram bersama imam dan sebagian hal yang dapat menjadi pelengkap yang wajib. Ada juga hikmah lain, yakni larangan untuk menyelisihi para imam.
Dapat juga diambil dari keumuman sabda Nabi : "Bila telah dikumandangkan iqamah, tidak ada shalat lain kecuali shalat wajib", bagi orang yang berpendapat bahwa bila sudah dukumandangkan iqamah, shalat sunnah harus dihentikan. [Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar II:151]
Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat sunnah itu tidak perlu dihentikan bila sudah dikumandangkan iqamah, namun diteruskan saja dengan ringkas, berdasarkan keumuman firman Allah. "Artinya : Hai orang-orang yan beriman, ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu" [Muhammad : 33]
Hadits-hadits tersebut berlaku bagi orang yang memulai shalat sesudah iqamah dikumandangkan. Ada yang berpendapat, bahwa apabila khawatir akan ketinggalan shalat fardhu berjama'ah, hendaknya ia membatalkannya, namun bila tidak, hendaknya ia meneruskannya. [Lihat Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah II : 120 dan Fathul Bari oleh Ibnu Hajar II : 151]
Yang benar, adalah yang terindikasikan oleh keumuman hadits-hadits tersebut, bahwa hendaknya ia menghentikan shalat sunnahnya. Dan itu terlihat jelas dalam hadits Abdullah bin Malik bin Buhainah yang telah disebutkan sebelum ini {Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dengan no.663 dan Muslim dengan no. 711, telah ditakhrij sebelum ini].
Ada lagi riwayat yang lebih tegas dalam Shahih Muslim, disebutkan : "Suatu hari, iqamah shalat Shubuh dikumandangkan, tiba-tiba Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang lelaki shalat, padahal muadzin sedang mengumandangkan iqamah, maka beliau bersabda : "Apakah engkau shalat Shubuh empat raka'at ?".
Dan inilah yang pernah penulis dengar dari yang mulia Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah yang mengunggulkan pendapat itu. Beliau berkata : "Adapun ayat yang mulia tersebut, pengertiannya adalah umum, sementara hadits itu khusus. Yang khusus dapat menjadi penentu arti bagi yang umum, dan tidak akan bertentangan dengannya, sebagaimana yang dapat dimaklumi dari ilmu ushul fikih dan Mustalahul hadits. Akan tetapi apabila dikumandangkan iqamah, sementara ia sudah ruku' di raka'at kedua, atau bahkan sudah sujud, atau sudah sampai pada tahiyyat, sesungguhnya tidak ada salahnya bila ia menerusknnya, kecuali apabila shalat wajibnya sudah hampir habis, dan hanya tersisa kurang dari satu raka'at saja" [Majmu'u Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah oleh Ibnu Baz XI : 339, dan XI : 370-372]
Pada kesempatan lain, beliau menyatakan : "Karena shalat (wajib) tinggal kurang dari satu raka'at, maka meneruskan shalat (sunnah), berarti bertentangan dengan hadits tersebut" [ibid II/394]
[Kumpulan Shalat Sunnah dan Keutamaannya, hal 41-44 Darul Haq]
Dan inilah yang pernah penulis dengar dari yang mulia Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah yang mengunggulkan pendapat itu. Beliau berkata : "Adapun ayat yang mulia tersebut, pengertiannya adalah umum, sementara hadits itu khusus. Yang khusus dapat menjadi penentu arti bagi yang umum, dan tidak akan bertentangan dengannya, sebagaimana yang dapat dimaklumi dari ilmu ushul fikih dan Mustalahul hadits. Akan tetapi apabila dikumandangkan iqamah, sementara ia sudah ruku' di raka'at kedua, atau bahkan sudah sujud, atau sudah sampai pada tahiyyat, sesungguhnya tidak ada salahnya bila ia menerusknnya, kecuali apabila shalat wajibnya sudah hampir habis, dan hanya tersisa kurang dari satu raka'at saja" [Majmu'u Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah oleh Ibnu Baz XI : 339, dan XI : 370-372]
Pada kesempatan lain, beliau menyatakan : "Karena shalat (wajib) tinggal kurang dari satu raka'at, maka meneruskan shalat (sunnah), berarti bertentangan dengan hadits tersebut" [ibid II/394]
[Kumpulan Shalat Sunnah dan Keutamaannya, hal 41-44 Darul Haq]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar